Duhai istri sahku (Part 14)




Duhai istri sah
#kolab_mona_risma_perca
Part suka-suka

POV. Zein

Aku melihat petugas perpustakaan sibuk memeriksa buku sumbangan yang kubawa dari para donatur. Menghitung dan mengelompokannya sesuai abjad. Sementara pandanganku sekali-kali melirik ke arah kelas tempat Nilam mengajar.

Sepuluh menit lagi bel tanda pulang berbunyi. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Setiap detik yang kulalui membuat debaran jantungku tidak keruan

Nilam ...

Nama itu bergaung di benakku dan menetap disemua urat nadiku. Dia seperti mentari yang memeluk dingin hati ini, hangat dan menenangkan. Hadirnya seperti hujan yang mengakhiri kemarau. Laksana pedang yang menebas kesombonganku.

Flash back on

"Dasar anak kurang ajar! Bisa-bisanya kamu nipu, Ayah."

Aku melengos mendengar kemarahan ayah. Beliau sangat marah ketika mendapat laporan sudah satu tahun aku DO dari kampus.

Namun, aku masih terus meminta uang pada beliau dengan alasan kebutuhan kuliah, membayar ini dan itu. Padahal uang itu kuhabiskan foya-foya bersama teman-temanku.

"Udalah, Yah. Masak gitu aja ribut. Kalau Ayah ngga rela, ntar duitnya kuganti," jawabku acuh sambil memainkan game online di ponsel.

"Kamu ganti pakai apa? Selama ini kamu taunya minta duit aja. Foya-foya!" bentak ayah, lagi.

Aku mendongak. Menantang mata ayah yang berkilat marah.

"Duit, Ayah kan banyak. Ngga bakal habis tujuh turunan. Aku satu-satunya anak, Ayah. Perhitungan banget, sih."

"Kamu ...!" Ayah menekan dadanya. Refleks kutopang tubuh ringkihnya yang terlihat limbung, kemudian mendudukan di sofa.

Napas ayah tersengal. Ku ambil obat beliau yang ada di atas meja kerjanya, kemudian meminumkannya. Sepuluh menit kemudian ayah mulai tenang. Menatapku sayu.

"Zein ... waktu kamu lahir, Ayah punya harapan besar suatu hari nanti, kamu menjadi orang sholeh. Ayah berharap jika Allah mengambil nyawa Ayah, ada kamu yang memandikan, mengafani dan mengimami sholat jenazah Ayah. Berharap juga mendapat kiriman doa dari kamu. Tapi, sepertinya itu harapan kosong saja."

Aku tertegun mendengar kata-kata ayah. Seperti sebuah godam memukul kesadaranku. Jangankan mengaji, bacaan sholat pun aku tak ingat. Ada yang menyentil alam bawah sadarku. Bagaimana jika aku meninggal lebih dulu, amalan apa yang kubawa. Aku bergidik ngeri mengingat cerita tentang orang yang menghadapi sakaratul maut. Mereka bilang sangat sakit.

Sentuhan lembut di kepalaku mengembalikan fokus kepada ayah.

"Zein, harta dunia bisa habis tapi ilmu agama dibawa sampai mati ..." lirih ayah. Membuatku tertunduk.

"Maaf ... maaf, Ayah," pintaku. Suaraku terdengar sengau.

Ayah menepuk bahuku dan berkata,"Ayah akan mengirimmu pulang ke kampung. Belajarlah ilmu agama dengan Kyai Rohim. Jangan pulang sebelum kamu hapal al-qur'an," titah ayah tegas. Aku hanya mampu mengangguk lemah.

Flash back off

Bunyi bel menarik pikiranku yang sedari tadi berlarian ke dimensi lain. Kulihat Nilam berjalan dari ruang kepala sekolah menuju gerbang. Bergegas kususul agar tidak kehilangan jejak.

"Nilam!" Seruku, sambil mendekatinya.

Dia menoleh. Nilam terlihat manis dengan gamis berwarna ungu dipadu dengan jilbab berwarna silver. Kulihat Nilam mendekap kuat buku ke dada, kepalanya tertunduk malu-malu. Menggemaskan.

"Kuantar pulang," ucapku begitu berdiri di hadapannya.

Dia bergerak gelisah. "Terima kasih, aku bisa sendiri," tolaknya halus.

Ada kecewa berdenyut di hatiku. Tapi bukan Zein namanya jika menyerah. "Kenapa? Kita kan searah," kejarku.

Nilam semakin mengeratkan dekapannya. Memberanikan diri menatapku. "Aku takut ada fitnah," lirihnya.

Aku tersenyum. "Kita ngga berdua, anak-anak itu searah dengan kita, jadi bareng jalannya," telunjukku mengarah ke rombongan siswa-siswi yang berjalan ke arah kami.

Nilam mengikuti arah pandanganku. Terdengar helaan lega darinya. Kemudian kembali tertunduk dengan wajah memerah ketika pandangan kami beradu.



Aku melihat Nilam mondar-mandir di halaman masjid sambil menenteng rantang plastik berwarna putih. Terlihat Kyai Rohim menghampiri. Entah apa yang mereka bicarakan, karna setelah itu beliau memanggilku. Aku mendekat dengan dada berdebar-debar. Selalu saja begitu setiap melihat Nilam. Dia seperti alat pacu jantung pribadiku.

"Ini, Nilam bawa rantang buat kamu. Bawa ke dalam," ucap Kyai Rohim kemudian berlalu masuk ke dalam masjid.

Tinggal aku yang canggung harus berkata apa. Ini bukan gayaku. Biasanya aku adalah sang pujangga. Gadis mana saja akan takluk dengan rayuan mautku. Namun, Nilam berbeda. Ada rasa sungkan meski hanya menatap terlalu lama. Lidahku kelu tak mampu berkata-kata.

Tangan mungil Nilam gemetar samar ketika mengulurkan rantang itu padaku. Aku meraihnya sambil mengucapkan terima kasih. Dia hanya mengangguk kemudian berbalik melangkah pergi. Ada sesuatu dalam diriku yang tidak rela melihat dia menjauh, jadi ...

"Dek, Nilam!"

Dia berhenti tepat lima langkah di depanku. Tetap memunggungiku menunggu aku melanjutkan kata-kataku.

"Aku ... aku mau bertemu, Ibu,"

"Untuk apa?"

"Kalau boleh, aku mau melamar kamu. Aku mau kamu jadi pendampingku di dunia dan di surga," gemetar suara mengatakannya. Namun, tidak dengan tekadku yang sekuat baja.

Hening ... aku memiringkan kepala ingin melihat raut wajah Nilam. Gadis itu terlihat malu-malu. Rona merah menjalari pipinya, sementara tangannya menekan dada. Entah kenapa ...

"Bagaimana?" Desakku.

Nilam mengukir senyum di bibirnya, lalu mengangguk. Seketika rongga dadaku penuh karna bahagia. Jika tak ingat tempat mungkin aku sudah jumpalitan atau berteriak bahagia.

"Tunggu aku, tunggu dua bulan lagi," ucapku sedikit lantang.

Lagi-lagi Nilam mengangguk kemudian melangkah pergi meninggalkanku yang masih saja tersenyum.



Aku hancur ketika mendengar Nilam telah menikah. Kekasih yang kurindukan siang dan malam telah menjadi milik Galih Pambudi. Pria itu ... bahkan dia tidak pernah mengenal Nilam. Bagaimana mungkin Galih bisa membahagiakan gadisku.

Gadisku ...! Aku tersenyum getir. Bahkan hingga detik ini Nilam masih bertahta di hati ku . Cinta ini terlanjur terpatri kuat merasuk ke palung hati. Hanya Nilam satu-satunya wanita yang mampu memberikan rasa tenang hanya dengan menatapnya saja.

Meski tiga tahun berlalu, tak mengusangkan rasaku padanya. Masih teringat jelas senyum terakhir yang diberikan untukku. Bukan tak pernah mencoba membuka hati untuk wanita lain. Tapi, bayang Nilam seakan tak mau pergi.

Sejak saat itu aku tidak pernah mencoba mencari pengganti Nilam. Akan kubiarkan ruang hampa di hatiku. Jika aku harus mencintai wanita, jika aku harus menua, jika aku harus membagi hati ... itu hanya dengan, Maharani Nilam Azzara.

22 Juli 2019

*udah tau kan sosok zein? Atau masih kepo, tenang menjelang PO bakal post. terus. Mak-emak kesayangan masih bisa nabung :) kecup online ya ... :)

Mona Saif Dillah
Risma MamaQilla

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 14)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel