Duhai istri sahku (Part 10)




Duhai Istri Sah

#Kolab_Mona_Risma_Perca


Part 10

Baru kali ini Mas Galih tinggal lebih lama bersamaku. Biasanya hanya satu minggu lalu kembali ke rumah si kuno Nilam untuk beberapa hari. Sudah hampir satu bulan lelakiku ini tak pulang. Sebenarnya aku sangat senang dia tak pernah pulang ke istri yang telah ditalaknya itu, tapi lama-lama bikin malas juga. Apa-apa minta dilayani, apa-apa suruh istri. Hello ... Tyas itu seorang istri bukan pembantu.

"Dasi aku mana, Sayang?"

"Kenapa yang ini belum dicuci, Sayang?"

"Kok, bajunya tidak disetrika, Sayang?"

Arghhh, menyebalkan. Kenapa serumit ini sih jadi istri, menurutku selagi punya uang kenapa tidak digunakan. Bukankah untuk itu suamiku ini bekerja, buat apa bayar asisten kalo aku masih turun tangan. Lagian juga mempekerjakan asisten rumah tangga kok cuma satu.
Istri sedang hamil besar bukannya dimanja.

Malam ini kuhabiskan waktu di tempat karaoke bersama teman-teman. Tak peduli dengan perut besar yang penting malam ini aku menemukan kembali Tyas yang dulu. Sejak menikah aku memang tak pernah lagi pergi ke tempat-tempat seperti ini. Kuabaikan semua chat atau pun panggilan telpon dari Mas Galih.

"Laki lo tuh telpon!" seru Rania di tengah bising suara bernyanyi teman yang lain.

"Biarin, paling juga nyuruh pulang. Males eikeh, belum malem juga 'kan."

"Serah lo dah. Inget yang dalem perut."

"Iya, bawel."

>>>>>

"Kamu dari mana jam segini baru pulang?" Suara seseorang membuatku terkejut ketika membuka pintu.

'Ow, sial. Dia ternyata belum tidur,' batinku.

"Aku karaokean, Sayang. Sama temen-temen, kok," kataku menghampiri dan bergelayut manja di lengannya.

"Harusnya kamu minta izin dulu, ponsel kamu juga gak aktif." Mas Galih tampak tak puas dan terus mencecar membuatku kesal.

"Sudahlah, Mas. Jangan kayak Satpol PP begitu. Aku 'kan juga punya kehidupan sendiri. Lama-lama kamu kayak hansip harus lapor 24 jam," jawabku ketus lalu pergi meninggalkannya.

>>>>>

Hampir seharian ini aku uring-uringan, teringat percakapan dengan Mas Galih semalam.

"Sayang, besok aku ke rumah ibu. Kakak tertua ibu akan menikahkan anak lelakinya."

Seketika aku memeluk dan menyandarkan kepala di dadanya.

"Kau akan mengajakku juga 'kan, Mas?" tanyaku manja tanpa melepaskan dekapan.

"Maaf, Sayang. Mas mengajak Nilam, kau tahu 'kan keluargaku belum mengetahui tentang kita," jawabnya pelan. Seketika kulepas pelukan dan tidur memberi punggung.

Jangan panggil Tyas kalau aku tak bisa melakukan sesuatu. Lihatlah Galih kau tak bisa memperlakukan aku seperti ini. Kau salah membuat keputusan, tak 'kan kubiarkan Nilam yang menjadi ratumu di sana.

>>>>>

Setelah lebih dari dua jam menempuh perjalanan, tibalah aku di kampung kelahiran suamiku. Hari mulai beranjak gelap. Aku melangkahkan kaki pada sebuah rumah yang tampak paling megah di kampung ini. Tenda-tenda telah terpasang, terlihat beberapa pemuda tanggung asyik menikmati musik dangdut sambil memasang dekorasi pesta. Tanpa menyapa mereka kulangkahkan kaki memasuki rumah besar itu.

Terdengar suara gelak tawa dan kulihat beberapa wanita muda sedang berkumpul entah melakukan apa. Kuedarkan pandangan mencari keberadaan lelakiku. Dimana dia?

"Maaf, Mba. Cari siapa, ya?"

"Suamiku, Galih Pambudi."

"Siapa, Ndis." Seorang wanita paruh baya menghampiri kami.

"Ada yang cari Mas Galih, Bude."

"Ada perlu apa dengan anak saya?" tanya wanita itu kembali dengan tatapan menyelidik.

"Ibu!" Kupeluk wanita yang masih terlihat cantik itu dan mengenalkan diri, "Saya Tyas, Bu. Menantu Ibu."

"Maaf, saya tidak mengerti kamu jangan mengaku-ngaku," sahut mertuaku dengan nada tinggi.

"Aku sedang tidak berbohong, Bu. Kami sudah menikah hampir setahun dan aku sedang mengandung anaknya. Cucu Ibu, jika Ibu tak percaya panggil Mas Galih kesini. Mas Galih! Mas Galih!"

Teriakanku sukses menjadi pusat perhatian, semua yang ada di dalam seketika keluar. Kulihat Nilam di sana, ow ow ow bahagia sekali dia dan Mas Galih dengan berlari menghampiriku.

"Tyas! Apa yang kau lakukan di sini?!" bentaknya membuatku terkejut dan aku tak terima ini.

"Mas, katakan pada Ibumu kalau aku ini istrimu dan bayi yang kukandung ini anakmu," balasku dengan berurai air mata. Oh, jangan berharap aku menangis beneran ini hanya akting.

"Benarkah itu Galih?" tanya Ibu dengan raut muka shock dan entah sejak kapan Nilam telah berada di sebelahnya memeluk. Sial, mau jadi pahlawan dia.

"Katakan, Mas, jangan jadi banci. Katakan juga bahwa Nilam telah kau talak dan kau Nilam kenapa masih mau diajak lelaki yang telah menalakmu." Telunjukku menunjuk tepat di wajahnya.

"Nilam, katakan, Nak. Katakan bahwa semua itu bohong."

Dengan tertunduk dan berurai air mata Nilam memjawab lirih, "Itu semua benar, Bu."

Ow ow ow jawaban yang sangat sempurna Nilam sayang. Sempurna membuat mertuaku pingsan. Ah, aku sangat menikmati kejadian ini. Baiklah bagianku telah selesai sekarang aku akan menunggu apa yang akan dilakukan lelakiku ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 10)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel