Duhai istri sahku (Part 13)




Duhai Istri Sah

#Kolab_Mona_Risma_Perca
Part 13

Sungguh drama yang mengharu biru berhasil kuciptakan. Walau hati kecil tak tega melihat ibu mertuaku tak sadarkan diri, tapi kelakuan Mas Galih yang mencoba untuk mengejar Nilam membuatku kembali meradang.

"Biarkan saja, Mas!" Aku menahan lengannya agar tetap diam di sebelahku.

Dua jam ibu mertuaku tak sadarkan diri, Mas Galih mengurungku di dalam kamarnya. Tak membiarkanku bertemu keluarganya. Laki-laki pengecut! Apa sekarang dia mulai berubah pikiran? Apa sudah mulai timbul rasa cinta di hatinya untuk Nilam? Kenapa aku merasakan sakit di dalam dada ini? Seperti tak ingin dia jatuh cinta pada Nilam? Bukankah semua ini kulakukan demi sebuah masa lalu.

>>>>>

Mas Galih mengajakku pulang keesokan harinya. Tak sempat menghadiri pesta pernikahan sepupunya. Entahlah, mungkin ia sudah tak punya muka lagi di hadapan keluarga besarnya. Aku pun tak peduli toh mereka juga tak menerima dan menganggapku.

"Turunlah." Mas Galih berkata dengan dingin tanpa melihatku ketika mobil yang membawa kami dari kampung telah sampai di depan rumah.

"Lho, memang kamu gak ikut turun, Mas?" tanyaku memandang wajahnya bingung.

"Saat ini aku ingin sendiri." Ada nada sedih terdengar dari suaranya yang serak.

"Lalu kau mau ke mana? Oh, jangan bilang kau mau pulang ke rumah kalian, Mas! Aku sedang mengandung butuh perhatian, butuh dimanja.
Kalau terjadi apa-apa denganku dan anak ini bagaimana?!"

Kukeluarkan semua emosiku tak perduli jika aku sudah membentaknya dan berteriak. Walau sudah kucoba terus membujuknya dengan menurunkan nada suara dan emosi dia tetap bergeming.

"Baiklah, terserah!" kataku gemas sambil keluar dan membanting pintu mobil.

>>>>>

Sudah hampir satu bulan Mas Galih tak pernah lagi kembali ke rumahku. Kalaupun datang hanya untuk menemaniku jadwal periksa kandungan atau membawakan pesananku. Tak ada lagi binar di wajahnya seperti biasa jika ia bersamaku. Apa rasa itu mulai pudar darimu mas? Apa kau sudah jatuh cinta pada Nilam? Ah, kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa aku tak rela, merasa marah? Sungguh aku tak suka melihatmu seperti ini mas. Aku ikut layu. Akan kulakukan apapun untuk mengembalikan Galih Pambudi yang kukenal.

"Aku berhenti." Kutatap wajah orang yang duduk dihadapanku di sebuah taman di mana kami berjanji untuk bertemu sore ini.

"Kenapa? Bukankah sudah kubilang jangan pakai perasaan."

"Kau kira tiga tahun waktu yang sebentar! Sudah banyak yang kukorbankan. Jadi, tak mungkin aku tak punya perasaan padanya. Aku jatuh cinta padanya. Sekarang, aku tak mau lagi mengikutimu, sudah cukup. Terserah jika kau ingin bilang aku tak tahu balas budi atau pun berterima kasih. Aku berhenti."

Berlari kutinggalkan tempat itu. Cukup sudah menuruti permainannya, aku juga harus memikirkan perasaanku juga bayi dalam kandungan ini.

>>>>>

"Mas, cepat pulang. Sepertinya ketubanku pecah." Kutelpon suamiku ketika pagi itu merasakan air merembes di sela pahaku. Galih Pambudi, dia tak pernah lagi jadi suami siaga untukku sejak kejadian itu.

" Ba-- baiklah. Tunggu, aku segera pulang," sahutnya lalu segera mematikan telpon.

'Sabar, Sayang. Sebentar lagi kau akan melihat momy, daddy, dan katakan juga halo pada dunia.' Monologku pada sang calon bayi sambil menahan sakitnya kontraksi.

Mas Galih datang lima belas menit kemudian. Entah kecepatan berapa yang digunakannya sampai jarak dari kantor ke rumah terpangkas hampir separuhnya.

" Bawa tas yang ada di dekat pintu, Mas," perintahku padanya sambil menunjuk sebuah tas besar yang telah kusiapkan.

"Ayo, Sayang," ajaknya sambil menggendongku ke mobil.

>>>>>

"Ayo, Ibu Tyas kita mulai mengedan, ya. Ikuti aba-aba saya." Dokter yang membantu proses persalinan memberi perintah.

"Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa." Mas Galih berbisik sambil mencium pipiku dan tersenyum.

Oh, akhirnya kulihat lagi senyuman di wajah lelakiku ini. Memberikan semangat dan kekuatan besar padaku. Ternyata begini rasanya perjuangan seorang wanita yang akan melahirkan. Benar-benar antara hidup dan mati. Setelah tiga kali mengedan akhirnya yang kami nanti terlahir ke dunia.

" Selamat, Bu Tyas, Bapak Galih anaknya perempuan, lengkap, normal, dan sehat. Kami bersihkan dulu, ya." Jelas dokter wanita itu.

Ah, suara tangisan yang indah.

"Terima kasih, Sayang. Terima kasih telah berjuang," lirih Mas Galih dengan air menggenang di sudut matanya seraya mengecup keningku.

"Kau bahagia, Mas?"

"Sangat," jawabnya tersenyum lebar.

"Mari kita perjuangkan satu hal lagi. Kita bertiga akan berjuang membawa Nilam kembali." Aku menahan ego untuk mengatakan hal yang kubenci ini.

"Ap-- apa? Benarkah itu, sayang. Aku tak salah mendengar 'kan?" Sangat terlihat jelas keterkejutan di wajah tampannya.

"Sebenarnya aku tidak rela, Mas, tapi melihatmu terpuruk seperti kemarin aku lebih tersiksa. Dengan syarat aku jadi yang pertama."

"Apapun, Sayang, apapun syaratmu. Terima kasih ... terima kasih." Mas Galih menghujani wajahku dengan ciuman dan mendekap erat.

Ah, aku tak percaya bisa melakukan hal gila ini. Cinta memang bisa membutakan. Akan kuterima apapun konsekuensi di masa depan dari keputusan yang kuambil hari ini. Bukankah cinta butuh pengorbanan. Sejujurnya aku mengutuk rasa ini.

End.

Hallo sayang-sayangku. Terima kasih banyak atas apresiasi dan komen-komennya sepanjang cerbung ini. Maaf jika tak bisa membalas satu-satu. Maafkan juga jika merasa kami menggantung akhir cerita, karena buat kami akhir cerita cuma satu tak ingin membohongi. Jadi, tak ada akhir cerita KW.

Di buku akan lebih detail siapa Tyas, siapa yang dipilih Nilam, Galih atau cinta masa lalu si Hanan Attaki (versi saya) alias Zein. Bagaimana pula dengan dengan akhir Tyas. Masih ada kesempatan buat nabung, kok sebelum PO dibuka.
Akhir kata banyak terima kasih untuk semua yang telah membaca cerbung ini. Salam dari Tyas, Galih, dan Nilam. Sampai jumpa lagi.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 13)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel