Duhai istri sahku (Part 8)




Duhai istri sah 8
#kolab_mona_risma_perca

POV. Nilam

'Kau telah mendorongku pergi. Maka biarkan aku titipkan semua rasa yang pernah kupupuk untukmu. Jangan pernah menilainya, karna kau tidak akan mampu menakar dengan benar.'

Tumpukan paper bag yang teronggok tak berdaya di sudut lemari seakan menertawakanku. Entah berapa lama benda itu tak mendapat perhatian.

Masih segar diingatan. Awal pernikahan kami, Mas Galih begitu getol membelikan banyak gaun berbahan tipis yang bahkan tidak bisa di sebut pakaian. Gaun itu kebanyakan tak berlengan, berbelah dada rendah, panjangnya pun hanya selutut. Jika sedikit saja merunduk maka pakaian dalamku akan terlihat.

Berkali-kali Mas Galih memaksaku, berkali-kali pula aku menolaknya. Hatiku sakit ketika melihat kilat kecewa di matanya, seiring rasa bersalah yang merangsek hadir karna tak patuh pada perintah Mas Galih.

Bukan tak mau, jika Mas Galih tidak di rumah, sering kucoba mengenakannya. Mengurai rambut panjang sepunggung, memoles sedikit lipstik dan mengenakan baju kurang bahan itu, sambil mematut di depan cermin.

Aku bahkan tidak mengenali bayangan di dalam cermin. Bertanya sendiri di dalam hati, benarkah itu aku? Nilam si gadis sholeha terlihat seperti jalang.

Aku tidak sanggup melihat bayanganku sendiri. Sejak usia dua tahun, ibu sudah membiasakanku memakai pakaian tertutup. Hal itu berlangsung hingga aku dewasa. Ibu mengatakan jika seorang wanita dinilai dari prilaku dan cara dia berpakaian. Ibu sangat ingin aku mendapat suami dengan akhlak yang baik. Bukankah wanita baik-baik akan menikah dengan laki-laki baik juga.

Tidak mudah merubah kebiasaan bertahun-tahun yang sudah mendarah daging. Meski aku selalu mencoba. Wajah ini tak pernah tersentuh make-up sama sekali, apalagi melakukan perawatan. Hidup serba kekurangan membuatku tidak pernah memikirkan memikirkan segala tetek-bengek alat kecantikan, bisa makan saja sudah syukur, mengingat aku yatim sejak kecil. Belum lagi sejak usia sepuluh tahun aku diserahkan ibu mondok disebuah pesantren. Sepuluh tahun di sana membuatku tidak pernah melirik busana yang lain, selain gamis dan jilbab lebar.

Belum lagi rasa rendah diri bila berhadapan dengan Mas Galih yang memandang remeh. Dia yang seorang direktur perusahaan besar dan aku hanya pengajar di Madrasah kecil. Aku berharap Mas galih lebih sabar menghadapiku. Menuntunku pelan-pelan menjadi istri yang sesuai kriterianya.

Awalnya Mas Galih masih menunjukan perhatian, meski bukan cinta. Karna tak pernah kulihat pendar itu di matanya Hingga sebuah kesalahpahaman merubah semuanya. Mas Galih murka ketika aku datang ke kantornya memakai gamis sehari-hari dengan wajah berkilat peluh.

Wajah Mas Galih merah padam menahan marah, matanya menyorotku penuh kebencian. Aku hanya menunduk tak mengerti saat Mas Galih menyeretku pulang, diiringi bisik-bisik yang berdengung di belakangku.

"Jadi itu istrinya, ish ... ngga level banget, ya!"

"Itu istri apa pembantu, sih!"

"Istri direktur begitu? Mungut dimana, sih."

"Masih mending kita kali."

Dan masih banyak lagi. Bagaimana kujelaskan, jika aku tak bermaksud mempermalukannya. Semua terjadi karna kurangnya komunikasi kami. Supir yang diutus Mas Galih hanya mengatakan jika Mas Galih memintaku datang ke kantornya. Kupikir terjadi sesuatu padanya,aku mencemaskannya. Jadi ketika mobil kami terjebak macet, aku memutuskan memesan ojek disebuah aplikasi. Keputusan yang kusesali hingga detik ini. Karna sejak itu Mas Galih berubah dingin, tepat enam bulan pernikahan kami.

Mas Galih mulai jarang di rumah dengan alasan keluar kota. Aku bukan wanita bodoh, meski pendidikanku tak setinggi Mas Galih, tapi insting perempuanku sangat peka, aku tau Mas Galih memiliki wanita idaman lain di luar sana.

Aku sudah mencoba memperbaiki diri. Melayani Mas Galih sepenuh hati. Merawat diri sebaik mungkin, tidak pernah menuntut atau menyakiti hatinya lagi. Tapi, semua itu tak cukup buatnya. Dia ingin lebih dan lebih.

Betapa hancurnya hatiku, ketika tanpa sengaja mendapati chat mesra Mas Galih dengan seorang wanita. Aku tidak berani bertanya. Menangis dalam diam, tersenyum seakan semua baik-baik saja. Meski setiap kali aku harus mengumpulkan retakan hati yang tidak pernah utuh. Merekatkan kembali, untuk di hancurkan lagi.

Mungkin inilah kebodohanku. Bertahan berjalan di atas jembatan ketidaksetiaan. Berpegang pada tali rapuh penuh dusta. Tapi mau bagaimana lagi. Pernikahan sebuah ikatan kokoh dan bukan main-main. Demi janjiku pada Allah dan orang tua Mas Galih. Sekuat mungkin aku bertahan sampai akhir. Meski dia tak pernah mencintaiku. Tak pernah memandangku dengan binar cinta. Tak pernah kulihat senyum tulus terukir di wajah tampan itu.

Pertama kali mendengar Mas Galih menikah lagi. Aku hancur. Selama ini setiap dusta yang keluar dari bibir Mas Galih, kuanggap sebuah kebenaran. Seperti sebilah belati menikam dada, menggores dan menciptakan luka yang dalam. Begitu bencinya Mas Galih hingga tak meminta ijinku. Apakah aku salah jika berharap dia lebih sabar. Tidak mungkin berubah dalam sekejap mata. Bukankah dalam pernikahan, bukan mencari yang sempurna, tetapi saling melengkapi kekurangan pasangan masing-masing.

Begitu fatalkah kesalahanku ...?

Yah, semua salahku, mempercayakan hati, pada seseorang yang mahir mematahkannya. Apakah benar ini akhir rumah tangga kami?

Sebuah notifikasi menghamburkan lamunanku. Sebuah pesan dari Tyas. Akal sehatku menolak melihatnya. Tapi, hatiku berontak ingin tau. Dengan tangan gemetar kubuka pesan itu. Sebuah foto dan kata-kata provokatif.

Mataku nanar melihat foto itu. Mas Galih tersenyum bahagia setelah tadi mengucap talak untukku. Tak terlihat sedikit saja rasa sesal di hatinya. Aku tersenyum getir, hati ini kebas. Tak kurasakan lagi sakit atau kecewa. Jika bahagiamu bersama wanita itu, maka biarlah semua berakhir, Mas.

Dulu kukira namamu dan namaku bersanding di lauh mahfuz. Nyatanya Mas Galih hadir hanya untuk mengenalkanku rasanya sakit hati. Tiga tahun bukan waktu yang singkat bertahan dalam sebuah hubungan. Terasa menyakitkan jika hanya aku yang berjuang.Sementara Mas Galih hanya menuntut dan terus menuntut. Aku lelah ...

♥♥


Deru mobil Mas Galih terdengar memasuki pekarangan rumah. Jantungku berdegup kencang. Ini kali pertama Mas Galih pulang, setelah satu bulan yang lalu pergi begitu saja setelah mengucap talak. Ku hela napas dan menghembuskan perlahan. Membujuk hati agar tetap kuat dengan semua yang akan terjadi. Jika memang garis takdir kami hanya sampai di sini, maka bersabarlah hati semua akan baik-baik saja. Karna kuyakin badai ini akan berlalu dan aku ingin dia melihatku baik-baik saja.

"Assalammualaikum."

Ku langkahkan kaki mendekati Mas Galih. Dapat kulihat wajahnya yang tetlihat lelah. Mas Galih memandangku dengan binar yang tidak kutau itu apa. Mungkinkah dia terpesona dengan penampilanku hari ini? Gamis merah muda dengan motif bunga sakura serta jilbab berwarna senada yang hanya menutupi dada, tidak lagi lebar seperti biasanya. Mungkin dia heran melihat bibirku yang biasanya hanya dipoles lipstik berwarna nude, sekarang merah merekah. Atau dia terkejut melihat jemari lentikku yang berhias hena berwarna merah.

Namun, kutepis perasaan itu. Tak ingin menanam benih yang akan menumbuhkan luka.

"Apa kabar, Nilam." tanyanya dengan suara sedikit serak. Mengulurkan tangan.

"Baik, Mas," aku tersenyum canggung. Tak kuraih tangannya yang terulur, karna kini status kami bukan suami istri lagi. Dia haram untukku.

Kulihat raut kecewa di wajah Mas Galih. Tapi, kuabaikan. Bukankah dia yang menginginkan semua ini.

"Nilam, besok kamu ikut aku ke rumah ibu, ya. Aku minta kamu merahasiakan masalah rumah tangga kita di depan beliau. Aku tidak ingin menambah beban pikiran ibu," pinta Mas Galih sendu.

Aku hanya bisa mengangguk. Nyatanya itu yang kulakukan selama tiga tahun ini. Menutupi aib suamiku. Mengatakan bahwa dia imam terbaik, bahwa aku wanita yang paling beruntung. Tanpa ada yang tau aku bergelimang luka yang terus berdarah nyaris mati.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 8)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel