Duhai istri sahku (Part 9)




Duhai Istri Sahku
#POVGALIH


'Hadirmu serupa bayangan yang tak pernah kuanggap. Tapi tahukah kamu, jiwa yang hidup tanpa bayangan semakin lama akan terasa seperti mati.'

Ponselku berdering untuk yang kesekian kali. Aku tak ingin melihatnya, tertulis nama Nilam dalam dering panggilan.

Lagi, aku mengabaikan dia. Sudah sebulan aku tak menemuinya semenjak malam itu, setiap kali mengulang ingatan, sepertinya aku mengatakan sebuah perpisahan.

Berkali diriku mencoba menyangkal, namun beratus kali hati kecilku mengakui itu. Entah pikiran mana yang sudah mengendalikan jiwaku untuk mengatakan hal yang begitu keji terhadap wanita sebaik Nilam.

"Aku nggak masalah kamu nikah lagi, asal aku mohon jangan ceraikan aku, Mas." Masih terngiang isak perih Nilam.

Dari mana dia memiliki kesabaran tanpa batas menghadapi pria sepertiku. Berkali aku menyakiti, berkali aku mengabaikan, lalu aku kembali mencari kehangatan lagi darinya, tak sekalipun dia pernah mengungkit luka-luka yang kuberikan padanya.

Kejamnya aku!

Sebulan hidup bersama Tyas. Ini pertama kalinya aku tinggal begitu lama dirumahnya. Karna biasanya aku hanya sepekan menginap untuk melepas gairah. Namun kali ini, waktunya begitu panjang untukku menyaksikan sebuah perbedaan watak Tyas.

"Dasi aku mana, sayang."

Tyas masih menggeliat diatas kasur. Teguran halusku tidak ditanggapinya. Aku menggeledah seisi ruangan dan kutemukan dasi yang harus kukenakan masih tersimpan dalam mesin cuci.

Pelan dan dengan penuh kasih sayang kuusap wajahnya yang masih tertidur lelap.

"Kenapa dasi aku belum dicuci, Sayang."

"Hmm ..." Tyas menggeliat sebentar. "Bibi minta izin ngggak masuk 3 hari kemarin."

"Terus kenapa nggak dibawa ke laundry."

"Bawa ajah sekarang sama kamu sayang, sekalian kan mau ke kantor." Dia menutup rapat kelopak matanya lalu tangannya menggebah pelan ke arah pintu memintaku jangan menganggunya.

Entah mengapa naluri suamiku sedikit tidak terima. Hati kecil ini teringat Nilam yang begitu cekatan menyiapkan keperluanku sedari pagi pagi buta. Sedangkan Tyas, entahlah!

Ah, ini pasti efek bawaan dede bayi dalam kandungan. Aku selalu berusaha memaklumi kemalasannya setiap pagi, bukan ... tapi setiap hari.

Tidak pernah ada sarapan apalagi mengharap kotak bekal. Sesekali memang menyiapkan makan malam, tapi dengan citarasa yang tak sanggup kujabarkan.

"Sayang, kalau bibi nggak masuk, lebih baik kita pesan Go-food ajah." Dengan menahan kegetiran dilidah, aku berusaha membujuk Tyas.

Kedua alis Tyas menukik tajam." Kenapa? Nggak enak yah makanan aku, sayang?"

Mendapati gejala tak terima dalam nada suaranya aku segera membenahi raut wajah yang terlihat tersiksa akan masakannya. Kupaksakan agar terlihat aku begitu menikmatinya.

"Nggaklah, enak kok." Cepat aku mengusap tangannya yang sudah mengepal. Habislah aku jika nyonya besar ini merajuk, bisa-bisa jatah bercintanya diliburkan.

"Oh ... yaudah, besok aku bikin sambal yah buat kamu, sayang."

Celaka, terakhir aku makan sambal buatannya langsung terkena diare sepanjang hari.

Ah, Jika menyangkut masalah perut, memang hanya Nilam yang bisa memuaskan.

>>>>>

Bibi beberapa kali jarang masuk kerja, terlihat sekali Tyas tidak melakukan apa-apa sepanjang hari dirumah.

Terkadang aku berangkat kantor dengan kemeja yang masih kusut. Jika aku meminta Tyas untuk menyetrikanya, dia hanya akan menunjukan letak stop kontak tempat menyetrika.

"Masak gitu ajah kamu nggak bisa, Mas." Selalu berkat dengan nada entengnya.

Selalu, senyumku terlukis kecut.

"Kamu dari mana jam segini baru pulang." Aku mendapatinya pulang tengah malam. Menunggu dengan suntuk diruangan tengah sembari tak putus menghubungi ponselnya yang tak juga terangkat.

Tyas masuk kerumah melenggang cuek. Dia mengecup pipiku lalu berkata dengan ringan.

"Aku karokean, Sayang. Sama temen." Bergelayut manja dilenganku.

Tak puas dengan jawabannya, raut wajahku sedikit mengeras.

"Harusnya kamu minta izin dulu. Ponsel kamu juga nggak aktif." Berusaha menekan nada suaraku agar tak nampak seperti sedang menghakiminya.

Tyas melepaska rangkulannya. Dia terlihat tidak suka dengan kata-kataku.

"Udahlah, Mas. Jangan kayak satpol PP begitu. Aku kan juga punya kehidupan sendiri. Lama-lama kamu kayak hansip yah harus lapor 24 jam." Ketusnya seraya berlalu meninggalkanku dengan ... angkuh.

Mengusap wajah kasar penuh frustasi. Sikap Tyas semakin hari semakin diluar kendali, sungguhkah dia tidak tahu kodrat sebagai seorang istri?

>>>>>

Dering ponsel berbunyi kembali, hampir saja kumatikan karna kukira itu adalah Nilam. Mataku membelakak ketika kudapati nama Ibu tertera dilayarnya.

Ah, apakah Nilam sudah mengadu? Aku belum mempersiapkan serangkaian jawaban jika Ibu mencercaku dengan kebenarannya.

"Assalamualakum, Bu ... iya ... hmm ..."

"..."

"Nanti aku usahakan."

Seketika aku terpaku memikirkan permintaan Ibu yang terasa begitu berat untuk situasiku saat ini.

>>>>>

Lama termenung di depan pintu bercat coklat, aku bingung bagaimana menghadapi Nilam setelah malam perpisahan kami kemarin. Nilam memang wanita yang memiliki hati selapang surga, apapun yang telah kulakukan, dia masih menyambutku penuh suka cita. Namun kali ini ada kekhwatiran kurasakan mengingat kata terakhir yang kuucapkan padanya.

Bencikah dia padaku?

Pintu terbuka perlahan ketika aku memberanikan diri mengetuknya pelan. Aku tercekat sesaat, menatap sosok dihadapanku yang ... entah.

Mengenakan gamis bermotif cerah dengan jilbab bermodel indah, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Bibir mungil yang selalu berkata penuh kelembutan, kini merona. Sapuan tipis bedak dipipinya menegaskan jika memang dia layak disebut ... cantik.

Reflek aku mengulurkan tangan. Bukan sambutan yang kuterima Nilam memundurkan langkahnya. Dia menarik tipis senyumanya, entah mengapa kebingungan itu seketika berubah menjadi rasa sakit.

Teringat jika memang aku sudah membuat kesalahan.

Diakah istri yang sudah kuabaikan?

"Kita kerumah Ibu, kakak tertua Ibu akan menikahkan anak lelakinya. Bersiaplah."

Melewati Nilam yang masih terpaku diambang pintu. Aku menarik nafas sebentar sebelum berkata.

"Bersikaplah seakan rumah tangga kita dalam keadaan baik. Beri aku waktu sebentar untuk menjelaskan kepada Ibu agar dia mengerti dan mau menerima."

Sebentar aku menghentikan langkah tanpa membalikkan tubuh hanya ingin mendengar desah nafas penuh keberatan darinya.

Tentu, aku ingin tahu masihkah ia ingin memperjuangkan hubungan ini. Karna sungguh aku tidak memiliki alasan meninggalkannya.

"Baiklah, Mas."

Aku terpaku, nafasku tercekat, nyatanya akulah yang keberatan. Kulanjutkan langkah dengan begitu berat.

Apa yang kamu pikirkan Galih? Bukankah ini yang telah lama kamu inginkan?

>>>>>

Kami terdiam sepanjang perjalanan. Nilam hanya memandang kedepan. Sesekali aku meliriknya lewat sudut mataku. Dia sepertinya tidak menyadari pandanganku terhadapnya.

Cukup lama kami terjebak dalam keheningan. Sampai akhirnya kuberanikan diri untuk memulai pembicaraan.

"Sebulan ini aku tinggal sama Tyas."

Sial! Apakah aku sedang pamer? Sebenarny hanya ingin mengecek posisiku dihatinya.

"Iya, Mas."

Nilam, betapapun jauhnya jarak antara kami. Dia masih menatapku jika aku sedang mengajaknya berbincang, dia sungguh wanita beretika.

"Kami memang sudah menikah."

"Aku tahu." Sengaja kupicingkan telinga memastikan nada suaranya.

Nilam berkata dengan datar. Ataukah dia sedang berpura-pura tegar?

Aku melonggarkan dasiku, mengurangi sesak yang tiba-tiba menyerangku.

"Bukankah kamu bilang tidak masalah aku menikahi asal jangan ..."

"Tapi Mas Galih kan yang menginginkan perceraian kita." Nilam memotong ucapanku dengan lancar, seketika membuatku menelan semua perkataanku yang tercekat ditenggorokan.

Lidahku kelu.

Bibirku membatu.

Ada yang teremas pelan disini ... hatiku.

Dia menatapku, kami bersitatap sejenak. Entah mengapa binar yang selalu berpendar kala menatapku, kini seperti mulai kehilangan sinarnya.

>>>>

Lagi-lagi aku dibuat tercekat oleh sikap Nilam diantara keluarga besarku. Tadinya aku begitu takut dia akan menjaga jaraknya antara kami sehingga memunculkan kecurigaan para kerabat akan hubungan rumah tangga kami.

Alih-alih Nilam menjauh apalagi mengadu. Wanita itu merangkul lenganku, menjawab setiap pertanyaan yang ditunjukkan padaku, seakan-akan ... hubungan kami memang begitu mesra dan penuh kehangatan.

"Galih, sibuk terus yah. Tiap disuruh pulang pasti nggak bisa. Katanya keluar kota terus. Kesepian donk Nilam ditinggal-tinggal." Salah satu Om ku bertanya.

Alisku memicing was-was. Kukira Nilam akan membenarkan,

"Iya, Om. Mas Galih sibuk banget. Tapi alhamdulilah, Mas Galih sering nelpon tanyain kabar aku. Jadi yah gak kesepian banget. Kan bisa video call juga."

Diluar dugaan, sehingga Omku terlihat begitu puas dengn jawabannya.

"Iya donk gituh jadi suami harus perhatian."

Aku terperangah, Nilam balas tersenyum penuh kehangatan.

"Kenapa kamu nggak ikut sekalian sama Galih? Mau ajah ditinggal-tinggal. Nanti Galih kecantol sama cewek lain." Tanteku mulai memancing pertanyaan.

Aku bergetar, mungkinkah Nilam akan membuka segalanya disini?

"Mas Galih emang suruh aku ikut, akunya ajah yang nggak mau tante. Soalnya suka mabok pesawat. Kan nggak pernah." Lagi-lagi Nilam tersenyum. Membuatku menjadi salah tingkah." Aku percaya sama Mas Galih, Tante. Nggak mungkinlah Mas Galih menghianati pernikahan kami."

Bagai tertampar hatiku mendengarnya. Ada kenyerian merambat sekujur tubuhku. Nuraniku memberontak mengingat sejuta rasa sakit yang kuberikan padanya namun dia membalas dengan penuh ketaatan.

Luar biasa Nilam menjaga harga diriku di depan para kerabat. Dia bersikap seakan seperti istri yang berbahagia, yang begitu beruntung memiliki aku sebagai suaminya. sehingga aku mendapat pujian sana-sini.

Faktanya, itu semua kebohongan. Nilam menciptakan kebohongan demi menjaga martabatku.

Karna, memang itulah tugas seorang istri. Menutup aib Rumah tangganya.

>>>>>

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 9)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel