Cerpen “Sabun Batang”
Cerpen
berjudul “Sabun Batang”
Karya :
Tri Astuti Mulyaningsih
Jalanan
kota sudah terlihat padat, suasana bising mulai terdengar. Panas, gerah, dan
keringat sudah menjadi teman akrab. Seperti Buyung dan Dion, mereka akrab sejak
kecil, bahkan sejak masih bayi.
Siang
ini, mereka baru saja pulang dari sekolah. Mereka biasa bersepeda. Namun kali
ini, Buyung membonceng Dion, sepedanya sedang berada di bengkel.
“Yung…
kita mampir bengkel sekalian ya,” kata Dion. “Kali aja sepedamu sudah sembuh.”
Sambung Dion.
“Keh
sip… lagi pula aku juga rindu si Bejo.” Jawab Buyung. Bejo adalah nama
sepedanya.
Dion
memutar sepedanya kearah bengkel. Tak lama kemudian, mereka sampai. Disinilah
awal dari mereka jadi tidak baik-baik saja.
“Wah…
sepedaku semakin keren nih!” kata Buyung sambil mengusap sepedanya.
“Wiiihhh…
gila! Joknya baru cuy!” ujar Dion.
Namun
tiba-tiba, seorang gadis keluar dari sebuah ruangan yang berada di dalam
bengkel.
“Kakak
ini, mau mengambil sepedanya ya?” tanya gadis itu. Dion tak bisa berkedip melihat
kecantikan gadis di hadapannya itu.
“Eh…iya
nih, bang Jimnya mana ya?” tanya Buyung.
“Ada
kak, sebentar!” kata gadis itu. Ia pun berlalu memanggilkan bang Jim, pemilik
bengkel tersebut.
Buyung
menepuk pundak Dion yang masih terpana dengan gadis itu.
“Eh…kalau
suka tuh bilang, jangan dilihatin mulu!” kata Buyung.
“Hahaha…
enggaklah buat apa, seneng aja lihatnya adem.” Kata Dion.
Tak
lama, bang Jim datang bersama gadis itu. Buyung langsung menanyakan total
rupiah yang harus dibayar. Setelah itu, Buyung membayarnya. Disela-sela
transaksi, Buyung sengaja menanyakan nama gadis itu. Ternyata namanya Lia.
“Lia
ini adik abang, baru aja pindah ke SMA Nusa Bangsa.” Kata bang Jim.
“Wah…satu
SMA dong sama kita ya kan Yung?” kata Dion seraya menyenggol pinggang Buyung.
Buyung hanya mengangguk. Mereka pun berkenalan satu sama lain.
Lia
baru duduk di kelas satu, sedangkan Buyung dan Dion sudah di kelas tiga.
Setelah
mengambil sepeda, mereka kembali menuju rumah. Kali ini mereka menggunakan
sepeda masing-masing. Sepanjang perjalanan, Dion terus memuji Lia yang cantik,
menurutnya. Buyung hanya mengiyakan apa saja yang dikatakan Dion. Termasuk
ketika Dion mengatakan bahwa Lia itu alien nyasar.
“Hah…gila
aja! Masa aku bilang Lia alien nyasar diiya-in aja.” Kata Dion. Buyung tertawa.
Buyung memang belum terlalu memikirkan perempuan. Ia fokus pada cita-citanya,
seorang fotografer.
“Iya
udah lah ya, besok pedekate sama Lia. Aku bantuin deh.” Kata Buyung. Dion
menyeringai. Ia melajukan sepedanya lebih cepat, sambil meneriaki nama Lia.
“Liiiaaaa…aku
dataaaaang…!” Buyung menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya.
Mau bagaimana lagi, semua orang pasti mencintai. Hanya saja Buyung merasa belum
saatnya
Keesokan
harinya, sesuai perjanjian semalam. Dion memaksa Buyung untuk membuatkan puisi
indah untuk Lia. Setelah itu, Dion akan mencarikan Buyung tempat penjualan
kamera terdekat dan termurah.
“Ini
jadi puisinya, coba baca lagi, kali aja ada yang gak pas!” kata Buyung sambil
menyerahkan kertas puisi itu. Dengan semangat Dion membaca isi tulisan di
kertas tersebut. Sampai-sampai Dion tersenyum-senyum membacanya.
“Jangan
sampe kamu baper sama penulisnya.” Kata Buyung memperingatkan Dion yang mulai
terlihat aneh.
“Apasih…
aku masih normal kali Yung.” Kata Dion sambil mengibaskan jambul kebanggaannya.
“Ya
udah sana, kasih ke Lia. Sambil bilang, iqro Lia. Kaya di film-film gitu.” Kata
Buyung. Dion tertawa. Buyung tertawa. Orang-orang sekitar mereka juga ikut
tertawa, entah mengapa tertawa menjadi seperti penyakit menular.
***
Sesuai
ekspetasi. Setelah Dion menyurati Lia dengan untaian puisi plagiatnya. Dion
berhasil memenangkan hati Lia. Mereka sepakat menjadi sepasang kekasih. Tepat
pada hari Buruh, satu Mei.
Buyung
senang melihat sahabatnya bahagia. Ia juga bahagia karena sudah mengincar salah
satu kamera. Buyung mulai menabung untuk mendapatkan kamera yang diincarnya.
Dion yang membokingkan satu kamera untuk Buyung.
Mereka
saling menguntungkan. Sesuai teori simbiosis mutualisme dimana kedua peran
saling menguntungkan. Seperti materi pelajaran IPA ketika SMP.
***
Hari
selalu berganti sesuai jadwalnya. Tak terasa hubungan Dion dan Lia sudah hampir
yang ke tiga bulan. Dion berencana mengajak Lia jalan-jalan. Namun, Dion sedang
tidak memegang uang. Tapi dia sudah berjanji pada Lia.
Dion
pun dilema berkelanjutan. Akhirnya, memang Buyunglah satu-satunya alternatif.
Dion menghampiri Buyung yang sedang asik dengan objek potretnya. Tempat
pembuangan sampah di sekolah. Ditangan seorang Buyung, bahkan tempat pembuangan
sampah pun akan terlihat indah.
“Hay
Yung…!!” kata Dion sambil menutup hidungnya.
“Eh
Yon, sejak kapan disini?” tanya Buyung.
“Barusan
sih.” kata Dion membetulkan posisi hidungnya, eh maksudnya, posisi tangan yang
menutupi hidungnya. Dari tangan kanan ke tangan kiri.
“Iya…
ada apa gerangan?” Buyung asik memotret sampah-sampah itu.
“Lebih
baik jangan di sini deh ngomongnya. Bau banget anjir…” kata Dion sambil menarik
lengan Buyung.
Buyung
pun terpaksa mengikuti Dion. Setelah menjauh dari tempat sampah, Dion
mengutarakan isi hatinya yang dirundung pilu. Buyung hanya menjawab dengan
anggukan dan tersenyum.
“Butuhnya
berapa? Ambil aja!” kata Buyung sambil menyerahkan kartu ATM.
“Sumpah
Yung, kamu sahabat terbaik dah pokoknya. Makasih ya sayang.” Dion tak sadar
memeluk Buyung. Buyung cepat-cepat menjauhkan tubuh Dion.
“Jangkrik…
normal nih.” Kata Buyung, terdengar seperti mengumpat. Dion tertawa. Ia segera
mencairkan uang untuk belahan jiwanya. Meskipun pinjam.
Disaat
Dion hendak mengambil uang di ATM. Tiba-tiba setan dalam dirinya berperan.
Bisikan halus dari telinga kiri mulai terdengar.
“Kalau
kamu bisa ngambil lebih banyak, kenapa cuma ngambil tiga ratus ribu?” batin
Dion. Setengah sadar, ia pun menekan nomor ATM dengan nominal yang lumayan. Lebih
dari setengah saldo.
Setelah
itu, Dion mengembalikan kartu ATM itu. tanpa mengatakan apa yang terjadi.
Buyung juga tidak menanyakan apapun pada Dion. Dari awal persahabatan, mereka
sepakat saling percaya.
***
Seminggu
kemudian, petaka itu datang. Buyung panik melihat saldo ATM yang terkuras
habis. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal hari ini ia akan
membeli kamera impiannya. Satu nama yang ia ingat. Dion.
“Dion…!!!”
kata Buyung sedikit menekan. Ia menahan emosi yang meluap-luap.
Ia
segera menghampiri Dion di basecamp. Sesampainya di tempat. Buyung langsung
menjatuhkan sepedanya dan meneriaki nama Dion.
“Dion
bang*at!! Sini Lo…!!” kata Buyung. Sungguh mengerikan. Tidak pernah Buyung
semarah ini. Beberapa teman Buyung keluar dan menghampirinya.
“Yung
kenapa kamu?” tanya salah satu dari mereka.
“Gua
nyari Dion, mana dia!?” kata Buyung.
Tak
lama, Dion keluar. Buyung langsung menarik kerah baju Dion. Teman-teman yang
lain berusaha memisahkan Buyung dan Dion. Dion hanya diam, dia tidak melawan.
Dia sadar dengan apa yang terjadi. Kemarahan Buyung, Dion tahu penyebabnya. Satu
pukulan mendarat di pipi Dion.
“Kenapa
lo gak ngelawan anj*ng…!!!” satu pukulan lagi mendarap di pipi Dion. Dion masih
diam. Dia tidak melawan kemarahan temannya.
“Sudah
Yung…kamu santai dulu. Bicara baik-baik.” Kata salah satu teman mereka.
Buyung
melepas cengkramannya. Nafasnya memburu. Terlihat jelas kemarahan di matanya.
“Sahabat
macam apa Lo…!!! Demi cewek lo, lo bangkrutin temen lo sendiri. Dasar bang…” Hampir
saja pukulan ketiga mendarat lagi di wajah Dion. Namun, salah satu dari mereka
bisa menahan Buyung.
“Aku
minta maaf Yung, pikiranku waktu itu gak tahu kemana. Aku gak nimbang-nimbang
dulu. Kapan-kapan aku ganti uangnya.” Jawab Dion sambil menahan sakit di
pipinya.
“Hah…
ganti? Udah telat. Mungkin kamera yang udah gua incer udah diembat. Mikir
dong…!!!” Buyung menunjuk kearah kepalanya sendiri. Ia memutar badan sambil
mengatakan.
“Lo
bukan sahabat gua lagi Yon.”
Dion
berusaha mengejar Buyung. Namun Buyung mengayuh sepeda dengan kencang. Dion
kembali ke basecamp, wajahnya terlihat sangat kecewa. Ia menjambak rambutnya
sendiri.
“Tolol…kenapa
sih, kamu nurutin egomu. Sekarang, sahabatmu pergi.” Kata Dion berbicara pada
dirinya sendiri. Ia berusaha mengirim pesan singkat untuk Buyung. Namun
pesannya hanya dibaca, tanpa dibalas. Dion pulang ke rumah dengan hati yang
hancur.
***
Keesokan
harinya, ada pesan masuk dari Buyung. Dion dengan cepat membuka isi pesan
tersebut.
Aku minta maaf buat kemarin. Tapi jangan
dikira aku sudah melupakan semuanya. Aku masih perlu waktu buat mastiin bahwa
kamu masih PANTAS jadi sahabatku lagi.
Dion
senang mendapat balasan dari Buyung. Bahasanya sudah tidak sekasar kemarin.
Meskipun isi pesan itu masih tidak bersahabat.
Dion
membalas pesan itu, namun nomor Buyung sudah tidak aktif. Mungkin Buyung
memblokir nomornya. Dion bingung mau melakukan apa, biasanya hari Minggu mereka
memancing. Kali ini, ia memancing tanpa Buyung.
Namun
ditengah perjalanan ke empang, Dion melihat famplet berisi pengumuman
perlombaan menulis cerpen. Ia melihat hadiah untuk para juara. Matanya berbinar
ketika melihat hadiah juara dua, sebuah kamera yang persis seperti yang
diimpikan Buyung.
Tanpa
basa basi, Dion mencopot famplet itu dan menghubungi nomor narahubung yang
tertera. Dion mendaftarkan dirinya. Setelah itu, semalam suntuk ia menulis
cerpen. Sambil menulis ia terus berdoa dan yakin. Tulisannya layak jadi juara.
Keesokan harinya, Dion mengirim
naskahnya. Ia tak sabar menunggu tiga hari lagi. Selama tiga hari ia terus
memikirkan nasib cerpennya. Ia bahkan meminta doa dari seluruh kerabat dan
saudaranya.
Lia
apa kabar? Setelah kejadian beberapa hari lalu dengan Buyung, Dion memutuskan
untuk tidak bermain dengan cinta. Lia diputuskannya tanpa sebab. Dan itu
pilihan yang tepat. Karena setelah itu, Dion tahu sosok Lia yang sebenarnya
matrealistis.
***
Hari
yang ditunggu-tunggu tiba. Pengumuman pemenang akan diposting hari ini. Dion
sudah memegang telepon genggamnya semalaman. Berharap ada pesan masuk.
Tepat
pukul tujuh, sebuah pesan masuk ke nomornya. Dion berdebar membuka pesan itu .
Berulang kali ia membaca pesan itu. Menepuk-nepuk pipinya.
“Anjay
sakit…!” mata Dion membelalak.
Ia
baca sekali lagi pesan itu. Masih sama, namanya tertera paling atas. Ia
menjuarai lomba itu.
Dion
meloncat dari kasurnya. Ia segera ke garasi untuk mengambil Rambo, sepeda
kesayangannya. Ia meluncur ke rumah Buyung yang berada tak jauh dari rumahnya.
“Buyung…Buyung…Keluarlah
sebentar!” teriak Dion dari bawah. Karena kamar Buyung berada di lantai dua.
Buyung
menengok dari jendela kamarnya. Dion melihat Buyung langsung melambaikan
tangannya. Tak tega melihat Dion, Buyung pun turun.
“Ada
apa?” Buyung masih sinis.
“Baca…!”
Dion menyerahkan ponselnya. Buyung menerima ponsel itu, ia membaca pesan
pengumuman itu. Matanya terbelalak, persis seperti Dion pertama kali
membacanya.
Buyung
menepuk pundak Dion. Ia tersenyum untuk pertama kalinya setelah kejadian
beberapa waktu lalu. Namun wajah Dion sedih.
“Kenapa
wajah kamu sedih Yon?” tanya Buyung.
“Aku
kecewa sama diri aku sendiri.” Kata Dion.
“Kecewa
kenapa? Lihat kamu juara satu.” Kata Buyung.
“Iya,
tapi aku gak mau juara satu.” Kata Dion masih dengan wajah murung.
“Kenapa?”
Buyung bingung.
“Kan
kalau aku juara dua aku bisa ngasih kamu kameranya.” Jawab Dion polos.
“Dasar
bego… ya mending juara satu, lima belas juta, kamu bisa beli kamera itu bahkan
tiga. Dasar, kalau bukan Dion siapa lagi yang kaya gini.” Buyung menepuk pundak
Dion lalu merangkulnya. Dion merangkul pundak Buyung. Mereka tertawa bersama.
Sore
itu juga, langit perkotaan menjadi saksi, bagaimana sahabat dan uang saling
berhubungan. Dua unsur yang berbeda. Antara minyak dan air. Mereka tidak
mungkin menyatu begitu saja.
Harus
ada campuran soda kaustik dan sedikit aroma parfum untuk kemudian dijadikan
sebuah sabun batang.
TAMAT.
0 Response to "Cerpen “Sabun Batang”"
Post a Comment