Duhai istri sahku (Part 11)




Duhai istri sahku 11
#kolab_mona_risma_perca

POV. Nilam

Mas Galih menyantap makanan yang kumasak seadanya. Sepiring nasi goreng pedas dan satu telur ceplok tandas dalam hitungan menit. Belum lagi setangkup roti bakar dengan selai coklat ikut masuk ke perutnya. Hatiku sedikit menghangat, ketika Mas Galih memuji masakanku. Apalagi saat kuhidangkan secangkir kopi panas kesukaannya, dua sendok gula dengan satu sendok kopi. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Hal yang tidak pernah dilakukan sepanjang usia pernikahan kami. Aku bahkan harus tergopoh kembali ke dapur hanya untuk menenangkan debaran jantungku.
.
.

"Sudah semua, dek?" Mas Galih berdiri di ambang pintu kamar, kedua tangan berada di dalam saku celana bahannya.

Gerakan tanganku terhenti. Sepertinya gendang telingaku rusak hari ini. Tadi ucapan terima kasih, sekarang Mas Galih memanggilku 'dek!', yang benar saja! Pasti ada yang salah dengan telinga atau otakku.

"Kenapa?" Mas Galih perlahan mendekatiku. Mungkin dia heran melihat aku yang memandangnya dengan wajah bingung.

"Ah, tidak apa-apa, Mas," jawabku.

Kudengar Mas Galih berdehem, "kutunggu di mobil, ya."

Aku hanya mengangguk. Jelas sekali kecanggungan diantara kami. Tapi, bukan itu yang membuatku bingung. Sikap Mas Galih, cara dia menatapku terlihat berbeda. Seperti ketika Zein menatapku, dulu ...

Ya, Allah ... apa ini! Kenapa tiba-tiba aku memikirkannya. Sepertinya syetan mulai menyusupi hatiku perlahan-lahan. Bahkan kami belum resmi bercerai dan masa iddahku masih tersisa dua bulan lagi. Tak ingin larut, kumasukan beberapa helai pakaian yang akan kami bawa. Tidak banyak, karna di rumah ibu juga tersimpan pakaian kami.


Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. (QS. Al-Baqarah : 229)
.
.

Sepanjang perjalanan, pikiranku masih teringat dengan nasehat kyai Rohim. Bahwa jika sewaktu-waktu, sebelum masa iddahku selesai, dan Mas Galih berniat rujuk, maka tidak ada alasan untuk menolak. Hal itulah yang membuatku bertahan tinggal di rumah pemberian Mas Galih hingga masa iddahku habis. Tetapi, kemungkinan Mas Galih merujukku hanya angan semu.

Aku tersenyum getir, entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta padanya. Hati ini sakit jika harus menanggung beban perpisahan. Karna itu akan kubiarkan Mas Galih melangkah lebih dulu. Aku akan terus bertahan sampai memang tidak ada lagi yang bisa dipertahankan.

"Sebulan ini, Aku tinggal dengan Tyas," ucapan Mas Galih menyentak lamunanku.

Mas Galih menggigit bibirnya. Terlihat ada penyesalan setelah dia mengucap kata-kata itu. Ah, Mas ... tanpa kau beritahu pun, aku sudah tau. Sadarkah dirimu, baru saja menabur garam di atas lukaku. Perih ...

"Kami, memang sudah menikah."

"Aku tau," selaku cepat. Aku berusaha terlihat biasa saja. Padahal jauh di sudut hati ada yang patah dan terhempas hancur, menghantarkan pilu kesekujur tubuh.

"Kau bilang tidak masalah jika-"

"Yah, tapi kau yang menginginkan kita bercerai," lagi, potongku lantang.

Mungkin sudah saatnya kuungkapkan beban hati yang selama ini terendap didalam diamku.

"Aku ikhlas jika kamu memilih poligami, Mas. Aku ikhlas jika hatimu condong kepada Tyas. Tapi, tak bisakah kamu menghargaiku sedikit saja?" Aku menatap Mas Galih tajam, tapi airmataku jatuh tanpa bisa kutahan. Jika Mas Galih tertawa karna kerapuhanku, maka biarkan saja.

"Maaf ..." lirihnya. Mas Galih menatapku sekilas. Ada kilat sesal di matanya.

Aku menghela napas perlahan, berharap sesak ini berkurang.

"Tak bisakah kamu memberiku tempat sedikit saja di hatimu. Tak bisakah kamu sabar menunggu aku berubah. Semua butuh proses, Mas," suaraku melembut, mengusap bening yang masih saja jatuh tanpa permisi.

"Kita dua orang asing yang dijadikan satu. Kita berbeda, tapi pernikahan membuat kita harus saling mengenal bahkan untuk seumur hidup. Harusnya kamu menyadari itu. Salahku yang tidak bisa menjadi istri idaman untukmu," puas sudah kuputuskan semua beban yang mengikat hatiku tiga tahun ini. Mas Galih hanya diam tanpa sedikit pun menyela.

Hening ...

"Dek, apa kamu mencintaiku?" suara Mas Galih terdengar bergetar ketika menanyakan itu.

Aku bergeming, membuang pandangan keluar kaca mobil yang mulai bergerak perlahan, sepertinya kami hampir sampai.

"Dek!" Kali ini suara Mas Galih terdengar tegas.

Kutatap matanya, mencoba meraba jawaban apa yang ingin dia dengar. Rasanya bukan hanya telinga, tapi mataku mungkin juga rusak. Aku melihat sedikit percikan cinta di iris kelamnya. Mungkin ini bodoh, tapi aku ingin membuktikan sesuatu. Jadi ...

"Ya, Aku mencintaimu, Mas. Hingga detik ini." Dan benar, percikan itu menyala menjadi binar yang sangat indah. Begitu hidup, begitu menggetarkan.

Mas Galih menggenggam tanganku erat, tepat ketika mobil berhenti di depan rumah ibunya. Matanya menatapku hangat. "Maukah kamu memberiku kesempatan, Dek?" tanyanya sendu.

Jantungku berdegup kencang, "Mas, merujukku," tanyaku penuh harap.

Namun, sekali lagi aku terhempas kejurang kesakitan ketika Mas Galih melepas genggaman tanganku dan mengunci bibirnya rapat.

Ternyata mencintai seorang diri itu menyakitkan ...


Baru saja aku melayang di awang-awang, secepat itu pula terhempas ke dalam jurang penuh jarum beracun. Harusnya tidak pernah kutanam sebutir harapan, jika akhirnya yang tumbuh semak berduri yang membuat luka.

Kuusap airmata yang meninggalkan jejak di pipi. Menghirup napas perlahan dan menghembuskannya. Meraba dada yang berdegup kencang, menenangkannya. Sebuah senyum kuulas di bibir, menutupi hati yang tengah merintih pedih.

Ibu Mas Galih memelukku hangat. Mencium pipiku dan tersenyum.

"Ibu pikir kalian tidak jadi datang, Galih bilang dia sibuk sekali."

Aku tersenyum getir. Oh ibu ... andai dirimu tahu, putramu memang sangat sibuk menoreh luka di hatiku. Tapi, kata-kata itu tertelan kembali.

Aku melihat tubuh ibu Mas Galih yang semakin ringkih. Belum lagi riwayat jantung yang dimilikinya, membuatku harus pandai memilih kata. Aķu tidak ingin menyakiti beliau, karna bagiku ibu Pambudi sudah seperti ibu kandungku.

Semua kerabat serta keluarga besar Mas Galih sudah berkumpul. Mereka tidak henti-hentinya menggoda kami. Gemetar tanganku kala memegang lengan Mas Galih. Ini dosa, tapi masih ada selembar kain tipis yang menghalangi kulit kami. Andai tadi Mas Galih mengiyakan pertanyaanku, mungkin sandiwara kemesraan ini tak perlu terjadi.


Kusandarkan tubuh ke kepala ranjang. Lelah rasanya dua hari ini membantu persiapan pernikahan. Seharian ini aku menemani ibu mengecek persiapan tenda dan catering. Rasa kantuk membuatku memejamkan mata sejenak.

Baru saja terlena. Kurasakan pijatan di kedua kaki. Ingin melihat siapa pelakunya, tapi rasa kantuk lebih berkuasa.

"Enak pijatannya, Dek?"

Suara itu sukses membuat mataku terbuka sempurna. Kutegakan tubuh ingin melihat pelakunya, meski dari suara saja aku sudah tahu.

"Mm-mas Galih!?" Refleks ku tutup kaki yang terbuka hingga betis dengan gamis yang kupakai. Menurunkan kaki ke pinggir ranjang.

Mas Galih tersenyum, lalu beringsut mendekat dan memutar tubuhku menghadapnya. Harum maskulin menguar di sekelilingku.

"Kamu cantik banget hari ini, Dek Nilam," ucapnya, tersenyum sangat manis. Dia menggenggam tanganku dan mengecupnya.

Aku terpana sesaat. Sepanjang pernikahan kami baru kali ini Mas Galih memujiku. Lagi-lagi aku melihat pendar cinta di matanya. Menit kemudian aku tersentak, ketika usapan lembut membelai pipiku. Tubuh ini seketika kaku. Apalagi ketika tangan Mas Galih bergerak melepas hijab yang kupakai. Tanganku bergerak ingin mencegah. Tapi, kata-katanya membuat gerakanku terhenti.

"Aku rindu melihat rambut indahmu. Kembalilah istriku ... Aku ... Galih Pambudi, merujukmu Maharani Nilam Azzara," bulir bening menetes di kedua pipiku, seiring kecupan hangat dan lama di puncak kepala. Benarkah ini? Ya, Tuhan ... jika ini mimpi, maka jangan pernah bangunkanku. Tapi, jika ini nyata, rahmatilah pernikahan ini.


Aku baru saja keluar dari kamar mandi. Kulihat Mas Galih yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang tersenyum padaku,manis sekali. Pipiku memerah mengingat perlakuan Mas Galih tadi sore. Aku merasa dicintai, diinginkan dan dimanja. Ini lebih hebat daripada malam pertama kami. Mas Galih memberi isyarat agar aku mendekatinya.

"Terima kasih, Dek, sudah memberi Aku kesempatan," ucapnya, lalu mengecup kedua tanganku.

"Sudah seharusnya, Mas. Tidak ada alasan Aku menolak. Semua orang pasti pernah berbuat salah, bukan berarti tidak berhak mendapat kesempatan kedua, kan?"

Mas Galih merengkuh tubuhku dan memeluk erat. Sangat erat malah.

"Maaf, Mas banyak menyakitimu. Soal Tyas ..." Mas Galih terdiam. Sepertinya mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyakitiku.

"Soal Tyas ... Mas tidak bisa menceraikannya. Dia sedang hamil anak, Mas," jelas Mas Galih lirih.

Aku memejamkan mata. Rasa sakit itu kembali menyapa. Menyadari bukan aku satu-satunya pemilik raga dan hati Mas Galih. Tyas terlebih dahulu memiliki hati Mas Galih, apalah arti diriku yang baru saja diijinkan bertahta di hatinya.

"Dek, kamu ikhlas, kan ... Tyas jadi madumu?" Mas Galih mengurai pelukannya, lalu menatapku dengan sorot memohon.

Aku diam sejenak. Hati ini kembali bertanya-tanya. Benarkah Mas Galih mampu adil? Apakah aku mampu berdampingan dengan Tyas. Rasanya sudah kalah sebelum berperang. Tanpa sadar airmataku luruh.

"Dek, jangan nangis lagi. Mas sedih lihatnya," ucap Mas Galih sendu. Tangannya menghapus airmataku
"Mas tidak memaksa. Nanti Mas pikirkan caranya."

Aku tidak tega melihat wajah bingung Mas Galih. Egoisnya diriku jika meminta dia menceraikan Tyas. Bagaimana nasib anak mereka kelak. Tidak! Aku bukan wanita sekejam itu.

Kurangkum wajah Mas Galih. Mencoba tersenyum, meski saat ini aku tengah menghunus belati yang akan menikam jantung. Kemudian berkata, "insha allah, Aku ikhlas, Mas. Berjanjilah kau akan adil."

Helaan napas lega terdengar dari mulut Mas Galih. Mendekap tubuhku kembali. "Terima kasih, Sayang?"


Sayup-sayup kudengar suara berisik dari luar. Ah, tidak, lebih tepatnya teriakan. Penasaran kukenakan jilbab dan keluar dari kamar menyusul Mas Galih yang sudah keluar lebih dulu.

Mataku melebar melihat Tyas yang memandang dengan senyum mengejek. Di depanku, ibuku dan ibu Mas Galih menangis berpelukan. Terdengar suara Mas Galih membentak Tyas, tapi wanita itu semakin mengamuk. Sementara semua kerabat memandangku dengan sorot yang tidak kumengerti.

Mungkin kasihan ...?

"Ibu ..." suaraku tenggelam dalam sesak. Tanpa bertanya, aku tau apa yang telah terjadi. Tyas! Wanita itu pasti sudah berkoar tentang pernikahan sirinya. Tentang perceraian kami. Hal yang selalu ku tutupi. Aku hanya bisa menunduk dan menangis melihat betapa terpukulnya ibu Mas Galih. Beliau memelukku dengan sisa kekuatannya.

"Kenapa, Nak? Kenapa kamu tutupi semua ini?" isaknya.

"Maaf, Ibu ... Nilam ... Mas Galih suami yang baik. Nilam masih mencintai, Mas Galih. Bahkan--" kata-kataku menggantung ketika merasakan tarikan ibu di tanganku.

"Jangan pernah sentuh putri saya lagi!" suara ibu terdengar bergetar. Matanya menatap nyalang ke arah Mas Galih yang ingin memelukku."Sayamenikahkan Nilam dengan anda, berharap dia akan bahagia. Nyatanya, malah penderitaan yang didapat, dan dia mengunci rapat mulutnya sebesar apapun anda menyakiti."

Hening ...

Tubuh ibu Mas Galih semakin melemah, isaknya pun semakin kencang, begitupun airmataku yang meluncur deras.

"Harusnya saya tidak memaksanya menikah dengan anda. Harusnya kami sadar tidak sederajat dengan anda," ibu terus bicara penuh amarah.

Kuusap lembut punggung ibu, berusaha menenangkan. "Sudahlah, Bu ... Nilam ikhlas."

"Ibu tidak!!" jeritnya. "Ayo pulang, Nilam, Ibu tidak ikhlas kamu disakiti."

Aku hanya bisa pasrah ketika ibu menyeretku pulang. Di iringi senyum sinis Tyas dan tatapan sendu Mas Galih.


Tidak mudah meluluhkan hati ibu. Tentu saja, Ibu mana yang ikhlas putri yang dibesarkan dengan kasih-sayang, keringat dan airmata diperlakukan zholim oleh suaminya sendiri. Apalagi putrinya yatim sejak kecil. Nyatanya ibu jauh lebih terluka dibanding aku. Bahkan ibu tidak rela jika Mas Galih merujukku lagi.

Apa yang harus kulakukan. Baru beberapa hari yang lalu kureguk cinta bersama Mas Galih. Setelah sekian lama menunggu. Tapi, sekarang justru ibu yang menolak. Mengapa pernikahanku serumit ini. Tak pantaskah aku bahagia?

Ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Gontai kulangkahkan kaki menuju pintu. Menekan gagangnya ke bawah dan menariknya. Seketika aku menahan napas, tubuhku kaku. Jantungku seakan melompat dari tempatnya. Dia ... pria yang mengkhitbahku tiga tahun yang lalu. Dia ... pria pemilik hatiku, dulu ...

Dia yang masih menatapku dengan binar cinta, senyumnya pun masih sehangat dulu. Senyum yang menular padaku.

Zein ....

--------------------

POV. Nilam selesai sampai di sini. Sejak awal part kisah ini dimulai, sudah mendapat pinangan dari penerbit. Tapi kami tetap melanjutkan sampai saat ini. Kisah Nilam, Galih dan Tyas tinggal beberapa part lagi di KBM sebelum dibukukan. Alhamdulillah mungkin Allah memberi rezeki melalui kisah ini.

Masih banyak part kejutan di novel nanti. Siapa Zein? Bagaimana kisah Nilam selanjutnya? Apa masih bertahan dengan Galih? Bisakah Galih adil? Dan siapa Tyas sebenarnya. Kisah ini tidak melulu tentang pelakor, suami yang tidak setia, atau istri yang sholeha. Semua akibat ada karna sebab. Ada pelajaran dan hikmah yang ingin kami sampaikan melalui cerita ini.

Akhir kata, banyak terima kasih buat like dan koment yang luar biasa. Apalah arti kisah ini tanpa kalian semua. Kechup sayang ♥

Next POV. Galih

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 11)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel