Duhai istri sahku (Part 12)




Duhai Istri Sahku
#Part 12
#Kolab_Mona_Risma_Perca

'Entah sejak kapan hatiku mulai terbata ketika mengeja namamu, cintamu yang sederhana, mulai terasa luar biasa dimataku'

Lama aku terdiam, memperhatikan dari sini, Nilam yang asik berbincang dengan para kerabatku. Sesekali dia tersenyum, sesekali dia tertawa. Baru kusadari, ini kali pertama aku melihat wajahnya terlukis tawa, mempesona.

Tak jarang aku menangkupkan tangan di dada. Hanya untuk memastikan ada debaran yang diam-diam menyelinap perlahan setiap pandanganku menatapnya.

Entah mengapa jantungku kerap berdetak setiap kali aku memperhatikan Nilam. Meski bibirku terus berkata tidak dan tidak, namun sorot mataku mengatakan sebaliknya.

"Diliatin terus istri sendiri, nggak bakalan kabur kok." Rendi sepupuku sepertinya sejak tadi memergokiku mencuri pandang pada Nilam.

Rendi terkekeh geli, mengingat usia pernikahan kami yang nyaris 3 th namun kini aku berlagak bak pegantin baru.

"Mbak Nilam, Mas Galih liatin terus nich. Kode kayaknya ngajak ke kamar." Mila berteriak nyaring sehingga seluruh mata kini tertuju padaku.

Aku tergeragap, pipiku seketika menghangat, malu juga ketahuan curi-curi pandang sama istri sendiri.

Para kerabat ikut-ikutan menggodaku, lalu aku menoleh padanya, Nilam tersenyum manis, matanya menyipit, sehingga ia tampak semakin mendebarkan.

Ada desiran aneh menelusup sanubari tanpa bisa kutahan. Sungguhkah aku jatuh dalam pesonanya?

Lagi-lagi aku terus memperhatikannya, tanpa jeda. Sial! Sejak kapan aku tidak bisa mengontrol hati sendiri?

Sibuk membantu mengangkat barang, aku kelimpungan mencari Nilam yang menghilang dari batas pandangan. Kucari disetiap sudut ruangan, aku menemukannya terbaring lelah di atas ranjang milikku.

Kudekati sisi ranjang dengan pelan, takut membangunkannya yang terlelap. Aku menahan nafas, terdiam sejenak, memperhatikannya dalam diam.

Ini pertama kalinya aku menatap lekat, hatiku berdetak nyeri, sakit sekali rasanya teringat akan sederet derita yang kuberikan.

Wajah malaikat ini, bagaimana mungkin aku begitu bodoh mengabaikannya?

"Jangan ceraikan aku, Mas." Masih membekas dalam ingatan kala Nilam mengiba perih.

Hatiku bergetar, seperti merasakan setiap kesakitan yang pernah kuciptakan untuknya.

Aku dengan egoku, selalu melihat kekuranganya hingga tak pernah menyadari, Nilam memiliki kemurnian hati, entah sejak kapan sepertinya mulai menyentuh bathinku.

Aku bahkan tidak pernah mencoba mengenalmu, memahami kesulitanmu, aku hanya tahu menuntutmu. Memintamu ini dan itu, sungguh tak menyadari, kesederhanaan yang selama ini kamu perlihatkan, telah mengangkat derajatku.

Masihkah aku diberikan kesempatan?

Memijat pergelangan kakinya, langkah kecil yang bertahun kuabaikan, yang selalu menyambutku penuh kehangatan, yang bahkan kubiarkan bersimpuh, masih bisakah aku mendengar ketukan langkahnya lagi?

"M-Mas Galih. .." Nilam tersentak beberapa saat setelah merasakan sentuhanku. Dia terkesiap membenarkan letak gamisnya.

"Kembalilah menjadi istriku, Sayang." Membelai rambut indahnya dengan penuh kasih. Kurasakan aliran darah menghentak dadaku, naluri lelaki dalam tubuhku menuntut lebih.

Merapalkan sebuah kalimat rujuk, Nilam menyerah dalam rengkuhanku.

>>>>>

Suara gemericik air terhenti. Nilam keluar dengan rambut digelung basah. Pipinya merona kala pandangan kami bertemu, tak mampu kusangkal, dia terlihat begitu menawan.

Mengapa aku baru menyadari pesonanya?

Segala yang melekat dalam dirinya begitu mengagumkan. Kesetian, ketaatan dan cintanya yang tanpa batas padaku. Mengorbankan kekecewaanya atas sikapku demi mengejar baktinya. Dia wanita yang hebat.

"Duduk sini, sayang." Menepuk sisi ranjang, Nilam datang mendekat.

Memandang sejenak wajahnya, ah, sungguh aku tidak tega untuk mengatakan imi.

"Makasih sebelumnya kamu mau menerima Mas kembali." Menahan nafas sebentar, Nilam menatap dengan sorot menunggu. Kugenggam jemarinya mencoba menguatkan atas perkataanku selanjutnya.

Menghembuskan nafasku perlahan.

"Aku nggak mungkin menceraikan Tyas. Dia sedang hamil" Raut wajahnya meredup, meski kulihat dia mencoba tersenyum walau dipaksakan." Kamu ... nggak masalah kan sayang." Hati-hati aku bertanya. Jemari Nilam meremas genggamanku, dadanya nampak bergemuruh. Sebutir bening meluncur dipipi manisnya, hatiku ikut berdetak nyeri.

Lagi, aku menyakitinya.

Sungguh, aku bersumpah tidak akan membuatnya menangis lagi karna sikapku. Mengusap air mata dengan ujung jariku, Nilam mengangkat wajahnya sendu.

"Iya, Mas. Aku nggak apa-apa." Memasang wajah ditegar-tegarkan.

Meraihnya kedalam pelukan, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya.

"Jangan menangis sayang," kutepuk pelan punggungnya.

"Maafkan aku." kutelan kata terakhir itu.

Sulit rasanya mengucap maaf. Karna aku tahu, maaf saja tak cukup untuk menghapus sejuta luka yang aku ciptakan.

>>>>>

Aku bergegas keluar kamar ketika kudengar suara ribut yang memancing perhatian.

"Kami sudah menikah, dan aku mengandung anaknya Mas Galih." Tyas berkoar, seketika membuat yang ada diruangan itu menatap dengan shock.

Aku terperanjat menyaksikan Tyas sedang membuka segalanya dihadapan Ibu dan mertuaku.

"Tyas." Aku menyalak lantang menghentikan serangkaian kenyataan yang dia beberkan. Juga tentang aku yang telah menalak Nilam.

Tersentak Tyas oleh bentakanku. Selama ini aku selalu mengalah menghadapi sikapnya. Namun kali ini aku tidak bisa menoleransi tingkah bar-bar nya.

Sungguh, dia baru saja merusak apa yang telah kuperbaiki.

"Benarkah ini Galih!" Ibu menatapku dengan bersimpah air mata. Dia nampak begitu terguncang, Nilam menghambur memeluknya mencoba menenangkan.

Tak kuhiraukan beberapa kerabat yang mulai menghakimi kala menatapku.

Gigiku gemeletuk menahan emosi. Pandanganku menatap nyalang pada Tyas, tampak tak ada penyesalan dalam sorot mata wanita ini. Baru kusadari, wanita seperti apa yang telah kunikahi??

Jika dibandingkan dengan Nilam, jelas Tyas wanita yang tidak tahu budi dan adab!

"Apa benar yang wanita ini katakan, kamu sudah menalak anak saya?" Mertuaku tampak berang, dia meraung murka.

Aku bergeming, ingin mengatakan serangkai pembelaan namun bibir ini kelu. Akhirnya hanya bisa memandang dengan pasrah, berusaha meraih jemari Nilam, sentakan mertuaku menciptakan jarak diantara kami.

"Jangan sentuh anak saya! Sudah cukup dia dibuat menderita. Meskipun kami begitu miskin dimata kamu! Anakku berhak bahagia!"

Bahagia! Ada yang tercekat ditenggorokanku. Sungguh aku lupa tak pernah memberikan dia kebahagian hanya sibuk menyakitinya lagi dan lagi.

"Ceraikan anak saya!" Mertuaku bergeram dingin. Aku tergugu, dulu sekali, aku memang menginginkan itu, namun kali ini aku sungguh menginginkan Nilam disisiku.

"Bu, Nilam masih mencintai Mas Galih." Nilam terisak berusaha keras melepas cengkraman erat ibunya.

Meletakkan tangan diatas lantai, Nilam berlutut dihadapan Ibunya. Air mata berurai deras, dia menunduk memohon.

Kakiku gemetar. Tak kusangka cinta Nilam padaku semurni ini.

"Jangan pisahkan kami, Bu."

Butuh waktu untukku mencerna situasi ini. Aku hanya terdiam menyaksikan, bagaimana Nilam memohon untuk menyelamatkan hubungan kami, lagi-lagi aku hanya diam.

Bukan tak ingin mendekat, aku merasa tak pantas diperjuangan seperti ini.

"Ayo kita pulang!" Mertuaku menyeret paksa Nilam. Masih kudengar nada lirihnya memanggil namaku, nyaris aku mengejarnya jika saja Tyas tidak segera menahan lenganku.

"Biarkan saja, Mas!"

Lamat sosok Nilam menghilang dari pandangan. Seperti ada yang ikut pergi dari hatiku, rasa apakah ini? Sakit sekali.

>>>>>

Dua jam Ibu tak sadarkan diri. Matanya mengerjap, beliau memegangi kepalanya yang mungkin terasa sakit, aku duduk disampingnya.

"Jika masih bisa diperjuangkan, maka lakukan." Ayah menepuk bahuku sebelum berlalu keluar. Memberi waktu padaku dan Ibu untuk saling bicara.

Ibu terduduk, memalingkan wajahnya kala pandangan kami bertemu, terlihat raut kekecewaan terlukis diwajah tua itu.

"Ceraikan Nilam!" Serak suaranya mengatakan itu. Beliau bahkan tak ingin menatapku.

"Dia masih istriku, bu. Aku mencintainya." Agak ragu mengucapkan kata terakhir, sungguhkah aku mencintainya? Lalu Tyas? Apa bisa cinta jatuh pada 2 hati?

"Jangan berdusta dengan hatimu. Ibu tahu betul sejak awal kamu tidak pernah menginginkan pernikahan ini." Kali ini Ibu menatap dengan cucuran air mata.

Menyadari begitu banyak yang tersakiti karna ulahku, aku hanya mempu menahan segala penyeselan ini sendirian. Ini pertama kali Ibu terlihar begitu kecewa dan terluka.

Selama ini aku hidup sebagai anak yang membanggakan, hari ini aku merasa bagai anak durhaka.

"Kenapa Galih? Karna Nilam miskin? Karna kamu merasa dia tidak sepadan denganmu?" Pandangan Ibu menusukku.

Aku bungkam, bahkan tak sanggup mengangkat kepala, tak ada daya menentang mata tua itu. Yang selalu berbinar kala sedang bersama Nilam.

"Ibu menjodohkan kamu dengannya karna dia wanita baik-baik. Lihat bagaimana dia melindungi martabatmu dihadapan kerabat, setelah banyak penderitaan yang dia tutupi, tapi dia masih berbakti! Apa kurangnya?"

Aku membisu. Kata-kata Ibu menamparku telak.

"Kamu kira Nilam begitu beruntung menikahi pria seperti kamu. Asal kamu tahu Galih, sebelum Nilam menikahi kamu, dia pernah hampir dilamar oleh pria baik-baik, dari keluarga terpandang, soleh" Kali ini aku mengangkat kepala mencari kejujuran dimata Ibu, sorot itu sedang mengatakan sebenarnya.

Ada yang mencekik tenggorokanku.

Sakit.

"Kamulah yang beruntung memiliki Nilam sebagai Istrimu, jika dibandingkan Pria itu, jelas kamu bukan apa-apanya!"

Aku tertohok, menelan kepedihan yang merayap di ulu hati.

Akukah yang beruntung?

>>>>>

Aku memutuskan pulang, mengantar Tyas ke kediamannya. Bujuk rayunya untukku singgah sebentar serta-merta kuabaikan. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan menatap ke depan.

Memasuki rumah dengan perasaaan yang ... Entah.

Ada kekosongan yang tidak bisa kujabarkan kala tak ada yang menyambut kedatanganku. Lama termenung diambang pintu, kulangkahkan kaki menuju kamar.

Menghempas tubuh diatas ranjang. Menatap langit-langit kamar, seraut wajah dengan senyum menawan muncul dipermukaan, aku memalingkan wajah, menghindari perasaan asing yang tiba-tiba menyergapku.

"Nilam." Terbata hatiku mengeja namanya.

Terbangun dipagi hari. Ada perasaan sepi yang tiba tiba menyeruak di sudut hati. Aku menggeleng, mencoba menepisnya.

"Ini bukan masalah Galih, hidupmu bisa lebih indah meski tanpanya." Sedang mencoba menghibur diri sendiri.

Termenung menatap piring berisi roti tawar dengan tatapan ... hampa! Lalu mencoba menikmatinya dengan berkali meneguk air putih karna terasa begitu sulit untuk dicerna.

"Sop ayamnya Mas, dihabiskan sarapannya."

Satu sosok muncul mengingatkan. Dia tersenyum manis. Mencoba meraih jemarinya namun ... hilang.

"Kotak bekalnya jangan lupa dibawa, Mas."

Aku beranjak bangun, sekotak bekal terbungkus rapi diatas meja. Belum juga mendekat, lagi-lagu kotak itu sudah ... lenyap.

"Hati-hati dijalan, Mas." Memandangi telapak tanganku yang kosong. Hanya desir suaranya yang masih kurasakan terdengar.

Menghirup kuat-kuat telapak tanganku, berharap menyisakan aroma tubuhnya yang tertinggal dan membuat rindu.

Rutinitas yang dulu kurutuki karna membosankan, entah mengapa mulai kurindukan.

Rutinitasnya atau Nilamkah? Yang kurindukan.

Bisakah hidupku lebih indah meski tanpa Nilam?

Menjelang malam perasaan sepi itu semakin menyeruak. Malam-malam terasa menjadi begitu panjang. Sibuk berganti-ganti channel TV entah apa yang aku tonton, semuanya terasa tidak menarik.

Aku beranjak menyusuri ruangan. Langkahku terhenti pada foto pernikahan kami yang terpajang menempel dinding.

"Nilam." Kusentuh wajahnya, dadaku bergetar hebat. Ada kesesakan yang kurasakan, menyeruak hingga melahirkan kepedihan. Sekujur tubuhku memberontak dan menudingku sebagai pelaku tunggal setiap deritanya.

Seperti menyusun kepingan puzzle yang berserakan. Satu per satu kebaikan Nilam muncul dan menampar keras.

Tentang bagaimana dia menunjukkan baktinya yang selalu kutanggapi dengan masa bodho

Menghabiskan 3 th dengan mengabaikannya. Lagi dan lagi mencari segala kekurangannya.
Nyatanya, tanpa Nilam aku bukanlah apa-apa.

"Aku kangen kamu."

Menepuk dadaku, mengurangi sesak yang terus menerus menyerangku.

"Maafkan aku, Nilam." Setetes bening meluncur tak tertahan. Sungguh, sesalku ini tak akan menghapus lukamu.

Dia selalu yang memandang dengan wajah teduhnya meski aku kerap melemparkan kata-kata kasar tak berperasaan. Dia yang selalu tersenyum, meski aku selalu bersikap dingin padanya. Nilam dan ketaatannya, Nilam dan cintanya, meski aku sudah menjadi suami yang dzolim. Dia selalu menghujaniku dengan kasih yang tanpa akhir.

Aku menjalani hidup dengan terbiasa mengabaikanya. Membiarkan menanggung rasa sakit seorang diri, tak peduli akan tangisan dan pedihnya.

Menatap wajah cantiknya, teringat seluruh cinta yang telah dia berikan. Ketulusan dan baktinya, menelan sejuta kekecewaan yang kuberikan padanya.

Hari yang kukira akan mudah terlewati meski tanpa dirinya, nyatanya aku malah semakin terjebak dengan kenangannya.

Ya Tuhan, inikah caramu menghukumku, merindukannya kala dia tak lagi disiku.

Bisakah kamu kembali sayang?

Aku ... rindu.

Rasanya sakit.

Seperti sakit yang tidak mematikan.

>>>>>

Mencoba mengerjakan setumpuk berkas dikantor. Mengambil jam lembur berhari-hari. Bahkan aku terima tawaran hangout para bujangan dikantor, yang telah lama kutinggalkan semenjak aku bersama Tyas.

Aku harus menyibukkan Diri, untuk mengalihkan dukaku, juga untuk menunda sejenak rindu ini

Namun ketika kesibukan semua itu terhenti. Aku kembali memikirkannya, mengingat Nilam dan segala kebaikannya.

Rasanya ingin aku mengulang waktu dan menjadi suami yang baik untuknya.

"Sayang, hari ini jalan yah." Tyas bergelayut manja dikantor.

Entah mengapa sentuhannya tak lagi bereaksi untukku. Aku bahkan menyentak tangannya dan meminta dia keluar.

"Tinggalkan aku sendiri, aku sedang tak ingin diganggu."

Aku tahu kisah rumit ini aku yang memulai. Namun tahukah kamu sayang, akulah yang paling menderita. Bahkan aku tak sanggup memintamu kembali, mengingat sejuta dosa yang telah kulakukan padamu.

>>>>>

Menikmati makan siang dikantin. Ada Andi Manager pamasaran yang tampak begitu kusut. Kuambil kursi disebelahnya.

"Nggak bawa bekal, Pak."

"Nggak usah panggil Bapak, ini jam istirahat." Aku memang berteman baik dengan Andi. Karirku melesat setingkat lebih jauh darinya.

Kami sibuk menikmati makanan kami. Sampai akhirnya Andi berkata pelan penuh penekanan.

"Kayaknya gue mau cerai."

Sendokku berdenting, menatap wajahnya yang muram. Sungguhkan? Belum setahun mereka menikah, maskh teringat bagaimana bangganya Andi mengenalkan istrinya yang begitu sempurna.

Pengusaha berlian, cantik, sexy, Mama muda sosialita.

Apa kurangnya?"

"Dia cantik, sexy ..." Mataku memicing.

"Rumah tangga bukan soal ranjang ajah, Bro!" Andi menarik nafas berat." Ketika loe sudah memiliki anak, hidup bukan hanya tentang kamu dan aku. Menyenangkan memiliki istri cantik dan sexy, tapi jika dia tidak tahu kewajibannya dan tidak bisa menjaga harta suami, bangkrut juga!"

"Maksudnya." Aku masih tak paham. Memang selentingan kabar kudengar kemarin Andi sempat kena SP karna memakai uang perusahaan. Namun karna uang itu diganti dia masih bisa bekerja disini.

"Istri gue tahunya cuma shoping, kesalon, arisan. Sekali-sekali sich nggk apa-apa. Lah kalo kebiasan tekor juga. Tahu sendri kemaren sampai jual tanah warisan untuk nutupin uang kantor yang terpakai. Bisa-bisa gue dibui"

"Untuk apa?"

"Gaya hidup." Pandanganya menerawang penuh sesal. "Istri gue, nyusuin anak ajah nggak mau. Apa-apa pake suster. Boro-boro kayak loe disiapin bekel ke kantor. Lah gue bangun dia masih molor."

Aku tersentil, seperti menggambarkan sosok Tyas.

"Istri loe sich sederhana, manis, pinter masak. Nggak salah loe terima dijodohin sama nyokap loe. Yang gue omongin istri sah loe yah. Jadiin gue sebagai contoh. Harusnya loe bersykur disaat jutaan lelaki bernasib malang kayak gue. " Andi beranjak sembari menepuk bahuku.

Beruntung, aku beruntung memiliki Nilam disisiku.

>>>>

Berlari menuju pelataran parkir. Memasuki mobil kutancapkan pedal gas kuat-kuat. Mampir membeli sebuket bunga, menemui wanitaku.

Tak hentinya merutuki kebodohanku, bahkan disaat terakhir Nilam mencoba meraih tanganku, aku hanya terdiam tanpa kata.

Semoga dia tidak menyalahartikan sikap diamku.

Senyum nilam menari dipelupuk mata. Aku siap, jika memang hrus bersimpuh dihadapan ibu dan mertuaku.

Nilam berhak bahagia, aku bersumpah akan berusaha keras membahagiakannya.

Nilam, berikan aku satu kesempatan lagi, sayang.

Ya Tuhan yakinkan Nilam untuk mau kembali. Padaku, bukan demi kepatuhan istri kepada suami, melainkan karna masih ada cinta untukku di hatinya.

>>>>

Berlutut dihadapan ibu mertuaku. Beliau awalnya enggan menatap. Lambat dia meraih tanganku meski wajahnya masih terlukis kekecewaan.

"Tanyakan pada Nilam, apa dia masih ingin kembali padamu. Ibu mohon, bahagiakan dia."

Aku mengangguk mantap. Memegang sebucket bunga, menyusuri jalan setapak tempat Nilam mengajar madrasah. Berkali aku menciumi wangi bunga ini, hatiku mengembang setiap kali mengingat senyum manisnya. Mata teduhnya yang menyejukkan. Sungguh aku tak sabar ingin memeluknya.

Aku merasakannya.

Semakin mendekat.

Dapat kuraskan jejak langkahnya.

Aku merindukannya.

Aku ingin mengatakan aku mencintainya.

Langkahku terhenti. Senyumku merekah kudapati Nilam sedang mengatur barisan anak-anak sembari bersholawat.

Wanitaku sesekali tertawa, sesekali dia tersenyum. Di terlihat begitu bahagia, dengan hal-hal sederhana seperti ini.

Hampir bergerak langkahku mendekatinya ketika seorang lelaki yang aku kenali muncul dibelakang Nilam, mengucapkam salam kepada anak-anak, lalu pandangannya jatuh pada Nilam.

Zein, aku memang tak sebanding dengannya.

Ada yang teremas disini, hatiku berdekat nyeri. Aku paham arti dibalik matanya. Meski Nilam menundukkan kepala, cara dia memainkan jemarinya menyadarkan aku satu hal.

Nilam berhak bahagia.

Wajah bahagia itu, bukan ketika bersamaku.

Aku tak mampu menciptakan senyum dan tawanya. Yang aku tahu hanya memberinya air mata kepedihan.

Memutar tubuhku berat, langkahku pergi menjauh.

Aku harus pergi, bukan karna aku menyerah. Aku harus menyelamatkan hatinya yang terus menerus kusakiti.

Sungguh, aku mendoakan kebahagianmu, sayang.

END

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 12)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel