Duhai Istri Sahku (Part 2)




#POVGalih

'Sebenarnya ingin aku menceraikan dia, namun bukankah jika tidak bisa mencintai akupun tak sampai hati menyakitinya.'

"Ini Mas kopinya." Nilam meletakkan secangkir kopi di meja makan. Aku masih sibuk berkutat dengan nasi goreng dihadapanku. Hanya melirik sekilas penampilannya.

'Hmm ... gamis polos lagi."

Pagi-pagi sudah bikin gerah!

Mengambil tempat duduk disebelah, Nilam mulai menikmati sarapannya. Hening, hanya denting sendok terdengar pelan.

Pagi yang selalu sunyi. Tak pernah ada pembicaraan diantara kami selain Nilam yang mengurusi keperluanku. Menyiapkan sarapan, membuat kopi dan membawakanku sekotak bekal.

Semuanya rutinitas biasa, dia melepas kepergianku dengan mengecup tangan lalu lambaian penuh doa.

Sempurna!

Dia terlihat begitu sempurna sebagai seorang istri, namun bukan sebagai wanita.

>>>>>

"Ini lho yang namanya Nilam." Ibu memberikanku selembar foto dengan wajah penuh harapan.

Masih kuingat ketika itu Ibu bersemangat sekali mengenalkanku pada seorang gadis lulusan pesantren di daerah jawa.

"Kapan kamu pulang, Nak!"

"Tahun ini pokoknya harus menikah."

"Mana calonmu cepatlah kenalkan pada Ibu dan Bapak."

"Biarkan ibu yang carikan calon istri untukmu."

Lebaran dirumah ketika usiaku sudah menginjak 30 th. getar suara Ibu yang berat kali ini seperti tidak dapat terbantahkan.

Inginku berkata tidak, namun tak kuasa mendapati binar meredup di mata tuanya.

Mengenalkanku pada anak seorang tukang jamu langganan dikampung kami. Dia mengajar Madrasah setiap pagi dan sore. Lulusan pesantren biasa.

Nilam.

Jauh diluar expektasiku.

Jelas kami tidak selevel!

Bukan anak bos kontrakan melainkan anak tukang jamu?

Oh My God!

Kriteria apa yang berkembang dibenak ibu? Apakah jiwa sosialnya begitu tinggi sehingga aku harus mengurusi kaum duafa?

Nilam gadis yang manis. Sorot matanya begitu teduh dan lugu. Kulitnya kecoklatan khas indonesia. Dia cukup manis meski tak bisa disebut cantik. Namun jelas dia bukan tipeku.

Terbiasa dikelilingi sekertaris muda yang cantik bersinar. Membuat Nilam terasa biasa saja dimataku. Dandanan yang begitu sederhana, mengurangi point drastis naluri kejantanku.

Usia 30 th sudah menjadi eksekutif muda dengan gaji puluhan juta. Memiliki banyak aset tentu membuatku memasang target yang tinggi soal wanita.

Aku kira Ibu akan mengenalkanku dengan wanita yang setaraf. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam hidupku akan menikahi gadis desa! Anak tukang jamu.

Tinggal digubuk reyot, aku bahkan harus berjinjit karna geli ketika kaki ini harus menginjak keramik yang retak.

"Istri itu harus yang sederhana. Karna dia akan menjaga baik-baik harta suaminya. Bukan istri boros yang hanya tahunya dandan dan belanja saja. Dia akan mencintaimu meski kamu kaya ataupun tidak."

Wejangan ibu begitu bijak ketika matanya mendapatiku yang begitu shock berat.

Kaum missqueen, marjinal dan terabaikan! Aaarrgghhhhhh ...!

Bagaimana mungkin seorang Galih yang tampan, kaya dan mempesona ini, yang bahkan mampu membuat wanita manapun merangkak demi dia, akan menikahi wanita yang sama sekali bukan kelasnya?

Ibu pasti salah!

Proses perkenalan dengannya tidak membutuhkan waktu lama. Sebenarnya saat itu aku sudah ingin menolak tegas. Namun sinar harapan dimata Ibu meluluhkan kekeraskaku.

Aku memutar keras pikirankm mencari cara untuk menggagalkan rencana ini. Jika penolakanku bisa melukai hati Ibu, maka biarkan saja Nilam yang menolak pernikahan ini.

"Aku ini bukan Pria baik-baik." Memasang wajah sangar ketika kami punya kesempatan berbincang berdua.

"Tidak masalah, semua orang bisa berproses untuk menjadi manusia yang lebih baik."

Aku mendengkus nafas kesal.

"Kenapa kamu tidak mencari Pria lulusan pesantren yang memiiki satu visi denganmu. Jelas dunia kita sudah berbeda."

Jujur, aku sampai tak habis pikir bagaimana mungkin pria yang sering keluar masuk klub malam sepertiku bisa beristrikan seorang gadis alim yang taqwa.

Tidakkah nanti dia akan menceramahiku setiap waktu? Membayangkan itu saja sudah membuatku sakit kepala.

"Bukankah pasangan itu saling melengkapi untuk menyempurnakan bukan mencari yang sempurna."

Jleb! Begitu lembut hingga membuatku bungkam.

"Aku tidak mencintaimu," Senjata terakhir yang pasti akan membuatnya tak berkutik. Bukankah wanita polos selalu mengagungkan cinta.

Kali ini Nilam mengangkat wajahnya. Netranya yang bening entah mengapa membuatku sedikit tercekat.

"Selama kamu lebih mencintai Tuhan kita bagiku itu bukan masalah."

Skak mat! Lidahku menjadi kelu.

Akhirnya menerima pernikahan ini karna faktor kemanusiaan, sembari ratusan kali menghibur diri sendiri.

"C'mon Galih, kamu sedang membantu pemerintah dalam memberantas kemiskinan!"

Semulia itulah aku saat ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai Istri Sahku (Part 2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel