Duhai istri sahku (Part 3)



POV. Nilam

Mataku nanar menatap layar ponsel. Pesan dari wanita yang mengaku istri siri mas galih laksana sembilu yang mengiris hatiku. Sudah sejak lama aku tau, mas Galih tak setia pada pernikahan kami. Pernikahan yang tak pernah diinginkannya.

Galih Pambudi. Sosok lelaki tampan, modern dan sukses. Wajar jika ekspektasinya untuk seorang istri sangat tinggi. Bukan wanita seperti aku yang hanya wanita biasa. Lahir dari seorang perempuan penjual jamu. Sekolahpun bukan di tempat favorit atau terkenal. Hanya sebuah pondok pesantren biasa. Pekerjaanku juga tidak istimewa, menjadi seorang pengajar di sebuah madrasah di kotaku. Sangat tidak sebanding dengan mas Galih yang seorang eksekutif muda.

Aku ingat kali pertama Mas Galih datang ke rumahku. Ekspresi jijik jelas tercetak di wajahnya. Apalagi ketika tanpa basa-basi dia mengatakan tidak mencintaiku. Bisakah kalian rasakan sakitnya? Perih, ditolak lelaki yang bahkan tidak aku inginkan menjadi imamku.

Pertama kali ibu mas Galih mengajukan lamaran, aku sempat menolak. Selain aku belum siap menikah, hatiku juga sudah tertambat pada seorang lelaki sholeh. Lelaki yang selalu menjaga pandangannya. Lelaki yang membuat semangatku berkobar untuk terus memperbaiki diri. Lelaki yang selalu kusebut dalam setiap doaku.

Kenyataan tidak pernah seindah hayalan. Hutang budi kepada keluarga mas Galih membuatku tak berkutik. Di sepertiga malam kuadukan resah yang menggelayuti hati kepada Tuhan. Isak tangis dan sedu-sedan menghiasi munajatku kepada sang maha pembolak-balik hati manusia. Hingga akhirnya aku menerima pinangan tersebut dengan ikhlas.

****

Di sinilah aku sekarang. Di cafe Roman, tempat wanita itu ingin bertemu. Begitu masuk, suasana mewah dan elegan menyambutku. Di sudut dekat jendela, seorang wanita cantik berpakaian seksi melambai padaku. Dia cantik, wajahnya dipoles make-up tebal. Bibirnya merah merekah, terlihat sangat menggoda. Pantas saja mas Galih memilihnya menjadi maduku.

Matanya tidak berhenti memindaiku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya mengutas senyum sinis. Seakan melecehkan penampilanku yang sangat sederhana. Tanpa basa-basi, dia mengungkapkan telah menikah dengan mas Galih selama tujuh bulan dan tengah hamil lima belas minggu.

Aku berusaha tetap tenang, meski dadaku bergemuruh hebat. Hatiku patah dan hancur menjadi serpihan. Menciptakan rasa sakit yang merambat cepat ke seluruh sel tubuhku. Jantung ini berdetak lebih kencang dari biasanya, lidahku mengucap nama Allah, berharap bisa memberi kekuatan lebih pada hati yang merapuh.

Wanita itu meminta agar aku menceraikan mas Galih, setelah itu dengan angkuh meninggalkanku bersama lima lembar uang seratus ribu, uang yang aku yakin didapat dari mas Galih.

Begitu wanita itu pergi, airmataku luruh tanpa bisa kutahan. Beginikah rasanya dikhianati? Sakit ...! Seperti berjalan di atas bara api. Ingin lari, namun tak punya daya. Dari awal menikah aku tau ini tak akan mudah. Tapi, aku yakin Tuhan selalu bersamaku. Pernikahan ini bukan main-main, bahkan Arasy Allah berguncang karna beratnya janji yang diucapkan. Aku mengusap bulir bening di pipiku, mengembuskan napas perlahan, melonggarkan dada yang terasa sesak.

Kutegakan tubuh, berjalan meninggalkan tempat itu. Aku ... Nilam. Istri sah Galih Pambudi. Tidak akan pernah meninggalkan suamiku, karna Tuhan telah menggariskanku menjadi tulang rusuknya. Lalu siapa wanita itu, yang seenaknya memintaku pergi. Jika dia ingin menabuh genderang perang, maka akan kulawan dengan perisai yang kutempa dengan doa-doaku.

Next pov. Tyas

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 3)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel