Duhai istri sahku (Part 5)




Duhai istri sah part 5

POV. Nilam

Kulipat mukena dan sajadah, setelah puas mengadu kepada sang khalik. Mataku menatap ranjang yang selalu rapi. Malam tadi mas Galih tidak juga pulang ke rumah. Tak perlu bertanya, Aku tau dimana dia menghabiskan malamnya setiap hari. Mas Galih hanya pulang satu atau dua kali seminggu, itupun hanya untuk mengantar baju kotornya. Setelah itu kembali pergi.

Kusibak gorden putih yang menutupi jendela. Mataku menatap lurus ke depan, ingatanku terlempar kali pertama orang tua mas Galih datang ke rumah.

Flash back on.

Tiga tahun yang lalu ...

"Nilam ... sini, Nak. Kenalin, ini Ibu dan Bapak Pambudi." ibu melambai padaku, memintaku mendekat kepada dua orang yang sedang bertamu kerumah.

Aku tersenyum, mengulurkan tangan dan mencium takzim tangan keduanya.

"Oo, jadi ini yang namanya, Nilam," buk Pambudi menatapku dengan mata berbinar. "Cantik ya, Pak!" imbuhnya sambil memandang sang suami yang ikut tersenyum ramah.

Aku hanya tersenyum malu mendengar pujian itu. Buk Pambudi menarik tanganku lembut agar duduk di sampingnya.

"Gini lo, Nak Nilam. Kedatangan kami kesini, mau melamar kamu untuk putra semata wayang kami, Galih."

"Mm-melamar?!" Aku menatap kedua orang itu bergantian, kemudian memandang ibu, seolah bertanya tanpa suara. Seketika tubuhku melemas setelah melihat anggukan ibu.

"Bagaimana Nak, Nilam, Kamu setuju kan?"desak buk Pambudi.

Aku hanya mampu menunduk. Memilin ujung jilbab. Bayangan seorang lelaki berkelebat di mataku. Lelaki yang kucintai dalam diam. Lelaki yang tengah memantaskan diri, memintaku pada pemilik dunia ini. Ingin aku menolak, tapi sorot mata kedua orang itu begitu penuh harap. Aku hanya bisa mengangguk dan berjanji memikirkannya.

"Pikirkanlah, Nak. Kami sangat berharap kamu menjadi menantu kami. Menuntun Galih menuju bahagia yang sebenarnya." Itu pesan ibu mas Galih sebelum mereka pulang.

Selama dua pekan aku menghindari lelaki itu. Terus bermunajat kepada Allah. Meminta diberikan petunjuk kepada siapa hati ini condong. Namun, hingga batas waktu tiba tak kunjung kudapatkan jawabannya. Sementara ibu terus mengingatkan kebaikan keluarga Pambudi kepada kami. Berat rasanya harus membunuh cinta yang telah mekar di taman hati, sementara desakan beruntun datang dari keluarga Pambudi. Lelah menghindar kuputuskan menerima lamaran itu. Meski harus melihat luka di mata lelaki yang kucintai.

Flash back off.

♥♥

Perlahan bulir bening jatuh ke pipiku. Aku hanya bisa menangis dikesendirian. Tiada teman tempat berkeluh-kesah. Kadang kala, aku menyesali keputusan yang kuambil.

Andai saja ...

Jika saja ...

Dering telpon menghamburkan lamunanku. 'Ibu' tertulis nama pemanggil di layar ponsel. Kuraba dada, menenangkan badai yang mengacaukan hatiku, tak ingin beliau tau prahara rumah tangga putranya.

"Assalammualaikum, Ibu," sapaku dengan suara serak.

"...."

"Alhamdulillah, baik-baik saja."

"...."

"Mas Galih? Emm, dia lagi di kamar mandi, Bu." Kupejamkan mata, menahan perih di dada.

'Maaf, ibu ... aku tidak bermaksud membohongimu," bisikku.

"...."

"Baiklah, Bu. Nanti kusampaikan sama Mas Galih."

"...."

"Waalaikumsalam."

Aku terduduk di atas ranjang, apa yang akan kukatakan pada mas Galih. Mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak tersambung. Kuulangi hingga beberapa kali hingga akhirnya menyerah.

Kuketik sebuah pesan di aplikasi pesan, sesaat aku tertegun. Melihat foto profil mas Galih dan wanita itu, Tyas. Mereka terlihat sangat serasi, bahkan Tyas mengecup pipi mas Galih mesra. Mataku memburam, tanpa sadar meremat ponsel yang ada digenggaman. Kuurungkan niat mengirim pesan. Hatiku masih terlalu sakit.

♥♥

"Dek, Nilam?!" Aku tersentak, hingga sayuran yang kupilih berserakan.

Suara itu, suara yang selalu membangunkanku dikala subuh. Suara yang menenangkan ketika dia membaca Al-quran. Aku menoleh, mata itu ... masih mata yang sama memandangku teduh dan ramah. Sadar saling menatap, kami memalingkan wajah. Aku beristigfar, mengusir rasa yang tidak sepantasnya hadir di hati.

Tergesa Aku melangkah pergi. Namun, lelaki itu mengejar, menghalangi laju kakiku.

"Kenapa lari, dek?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng, meremas tas plastik yang berisi belanjaanku.

"Kamu kurusan, apa lagi sakit?" tanyanya lagi.

Ya Allah, seandainya mas Galih yang bertanya, pasti detik ini juga Aku akan menghambur kepelukannya. Tapi, bukan dia. Lelaki dari masalalukulah yang bertanya. Debaran jantung ini semakin menggila. Aku panik, tubuhku gemetar. Secepatnya harus pergi dari hadapan lelaki ini.

"Mm-mas, Aku ... pulang dulu. Di tunggu suami di rumah." Akhirnya keluar juga dari mulutku kata-kata itu, menekankan suku kata terakhir meski terbata-bata.

"Aku antar," tawarnya.

Aku menggeleng cepat, "maaf, aku tidak mau ada fitnah." Setelahnya bergegas berlalu dari hadapannya.
.
.
Masakan sudah terhidang di atas meja. Meskipun insiden di pasar tadi mengganggu pikiranku, aku tidak mau berlarut-larut. Teringat belum mengabarkan kedatangan ibu dan bapak kepada mas Galih. Kuraih ponsel di atas nakas dan menelponnya.

Pada deringan ke empat teleponku tersambung.

"Assalammulaikum."

"Waalaikumsalam. Mas ... hari ini Ibu sama Bapak mau ke rumah, pulang ya, Mas, setidaknya untuk mereka," pintaku lirih.

"Ngga bisa, hari ini jadwal periksa kandungan," seorang wanita menjawab dengan ketus. Kemudian sambungan diputus begitu saja.

Aku mematung. Lagi-lagi, Tyas. Wanita itu benar-benar memonopoli mas Galih, bahkan untuk bertemu kedua orangtuanya pun tak bisa.

'Mas, begitu besarkah cintamu pada Tyas, hingga mengalahkan cinta kepada ibu-bapakmu' lirihku. Kutatap meja makan yang penuh terhidang makanan kesukaan mas Galih, ibu, juga bapak. Tadinya aku bersemangat, berharap memperbaiki hubungan kami. Namun, sekarang semua terlihat hambar. Sehambar hatiku pada pernikahan kami.

♥♥

"Assalammualaikum."

Terdengar salam dari arah ruang tamu. Sore ini mas Galih pulang ke rumah. Aku menyongsongnya. Meraih tangan dan mencium dengan rasa sayang. Sesakit apapun hati ini, aku harus kuat. Akan kutunjukan jika kubersungguh-sungguh akan menjadi pasangan seumur hidupnya, tak perduli sebesar apa mas Galih menyakitiku.

Kuraih tas kerjanya, meletakan di dalam kamar dan beranjak ke dapur menyiapkan air hangat untuk mandi dan segelas airputih, sekedar pelepas dahaga.

Mas Galih bergeming. Bahkan semua pelayananku tak ada arti baginya. Jangankan ucapan terima kasih, bicarapun sangat irit.
.
.

Azan isya mengumandang. Memanggil manusia rehat sejenak menghadap Tuhan. Aku mengambil mukena bersiap melaksanakan sholat. Sejenak tatapanku terpaku kepada mas Galih yang terlihat asyik dengan ponselnya. Tersenyum dan tertawa. Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami berjamaah. Entah mengapa malam ini hatiku tergelitik mengajaknya.

"Mas, udah azan, sholat yuk," ajakku selembut mungkin. Tapi, mas Galih bergeming.

Aku tak menyerah. Kudekati mas Galih, menyentuh lengannya.

"Mas, ponselnya ditarok dulu. Kita jamaah yuk," rayuku lagi.

Mas Galih menajamkan matanya, menyentak tanganku. "Kalau mau sholat, duluan. Ngga usah ajak-ajak," bentaknya. Kemudian melangkah lebar meninggalkan kamar. Aku hanya bisa menatap punggung mas Galih nanar.

'Apa yang harus kulakukan, Mas. -kau sudah terlalu jauh.' Isakku.

Dengan hati perih, kutunaikan kewajiban. Meski disetiap lantunan ayat, kaca-kaca dari mataku tak berhenti jatuh, pipiku juga basah bersimbah airmata. Hanya Allah yang kuharapkan menghapus lukaku.
.
.

Baru saja aku selesai melipat mukena. Kulihat mas Galih sudah berpakaian rapi. Sepertinya dia tidak akan tidur di rumah lagi. Jika terus begini, aku tidak yakin bisa bertahan. Kucoba menekan ego kembali.

"Mau kemana, Mas?" tanyaku.

Mas Galih hanya melirik sekilas, seakan tak mendengar pertanyaanku.

"Mas!" kali ini suaraku terdengar sedikit lantang.

Mas Galih menatapku malas. "Apa lagi," jawabnya.

"Kemarin Ibu sama Bapak ke sini mereka kangen banget sama kamu. Aku udah coba telpon, tapi yang angkat-"

"Itu Tyas. Aku rasa kamu sudah tau kan, siapa dia?" Sela mas Galih cepat. Matanya berbinar ketika menyebut nama wanita itu.

"Aku tau, Mas. Kenapa kamu ngga bilang udah nikah lagi?" lirihku.

Mas Galih berdecih, "harus gitu, semua Aku lapor ke kamu?"

"Tapi, Aku istrimu, Mas," Aku mulai terisak.

"Istri yang cuma bisa malu-maluin. Lihat penampilan kamu," Mas Galih menatap tubuhku dari atas ke bawah dengan pandangan melecehkan. "Tiap hari pakai baju model karung terus. Apa susahnya dandan, pake baju seksi. Kamu tau, kan, nyenangin suami itu wajib. Tiap kusuruh selalu ada alasannya, bahkan office girl di kantor aja lebih enak di lihat."

Airmataku meleleh mendengar hinaan beruntun dari mas Galih. Seburuk itukah aku di matanya, apakah penampilan fisik segalanya bagi Mas Galih?.

"Aku ngga biasa, Mas, Aku janji akan berubah. Dandan setiap hari, tapi, Aku ngga bisa pakai baju seksi, Aku ngga mau, Mas."

"Telat! Ngga penting Kamu mau pake apa ngga, sebentar lagi kita juga bakal cerai," dengkusnya.

Mataku terbelalak mendengarnya. "Maksud kamu apa, Mas?"

"Kamu ngga budeg, kan. Aku mau kita pisah!" kali ini suara Mas Galih terdengar lantang.

Aku menggeleng cepat, berderap mendekatinya, mengguncang lengannya. "Istighfar, Mas. Aku ngga masalah kamu nikah lagi, ngga marah ngga perduli lagi. Tapi, jangan ceraikan Aku."

Mas Galih menghempas tanganku, mendorong tubuhku menjauh darinya. "Aku muak hidup sama Kamu, Aku ingin bahagia dan itu bersama Tyas," desisnya, kemudian bergegas meninggalkanku.

Aku hanya bisa menangis, jatuh terduduk di lantai. Rasanya tubuh ini tak bertulang. Berkali-kali hatiku hancur. Namun, kucoba mengumpulkannya kembali, demi keutuhan rumah tangga. Tapi, bagaimana bahtera ini akan berlayar jika dayungnya saja telah patah.

Dalam tangis kulantunkan doa kepada Allah, jika Mas Galih baik untukku, maka penuhilah hatinya dengan namaku. Jika tidak ... tunjukkanlah jalan terbaik untuk kami.

Next
Risma MamaQilla
Mona Saif Dillah

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel