Duhai istri sahku (Part 6)




#POVGalih
#Part6


'Dia tampak biasa. Wajahnya, tutur katanya, segala yang melekat dalam tubuhnya tidak bisa menciptakan debaran. Sungguh, rasanya begitu sulit untuk mencintai dia.'

"Assalamualaikum ..."

Rumah tampak lenggang, aku meletakkan tas kantor di atas sofa. Seperti biasanya, sapaan kecilku akan menghadirkan ketukan ringan langkah kecil Nilam. Dia meraih tanganku lalu mengecupnya hangat.

"Waalaikumsalam, Mas. Baru pulang?" Sesaat setelah bertanya itu, tanpa menunggu jawaban dia bergerak menuju dapur untuk mengambilkan segelas air.

Semua gerakannya, tujuannya, segala kata-katanya, bahkan tarikan nafasnya, semuanya sudah bisa aku tebak.

Hari-hari yang kulalui bersamanya begitu mudah terbaca akan kemana. Hingga membuatku mulai merasa hidupku begitu pekat, tak berwarna.

Aku jenuh, tepat setahun pernikahanku.

Membuka lemari pakaian dikamar. Tampak disudut lemari masih bertumpuk paper bag yang nampak baru terbeli, terbungkus rapi. Berisi puluhan dress indah yang sudah lama teronggok malang dipojok ruangan.

"Aku pakai baju ini, Mas!!" Mata Nilam melebar sempurna ketika aku menyerahkan beberapa paper bag ketangannya.

Nilam terlihat begitu shock!

"Ini harus aku pakai, Mas?" Tanyanya berulang. Seolah anggukan dan sorot tajam mataku tak dapat dimengerti olehnya.

Memandang selembar baju ditangannya. Genggaman jemarinya mulai meremas perlahan. Dress selutut dengan belahan dada rendah. Aku memintanya untuk mengganti semua gamis polos dan mengenakan itu sebagai pakaian rumahan. Namun sayang, bukan suka cita reaksi yang kuharapkan, semua diluar dugaan, dia menolak keras!

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa."

"Kenapa?"

"Aku malu." Suaranya tercekat. Seakan permintaanku begitu berat untuk dipenuhinya.

"Aku kan suami kamu!" Aku mulai berdesis dingin.

"Aku nggak mau, Mas. Kayak perempuan murahan." Lirihnya dengan kepala tertunduk. Sederai air mata mengalir diam-diam.

"Terserahlah!" Ketusku pada akhirnya.

Aku coba membujuk dua kali, kubujuk lagi berulang kali. Jawabanya masih dengan kekeras kepalaan yang sama. Dibalik sikap lembutnya, dia begitu teguh mempertahankan sikapnya.

Keteguhan yang menyesatkan!

Terbukti, jangankan dress yang menurutnya terkesan murahan. Bahkan setumpuk make up yang kuberikan juga tak pernah tersapu diwajahnya. Terlalu! Membuatku merasa begitu tidak dihargai.

Gamis atau pakaian yang dia kenakan memang tidak kumal, hanya saja begitu tampak ketinggalan zaman.

>>>>

Kabar mengenai pernikahanku sudah mulai terendus lingkungan kantor. Sebagai salah satu Direktur yang berpengaruh, tentu kasak-kusuk mengenai pernikahanku yang terlalu cepat menjadi sorotan.

"Ciyee ... pengantin baru. Bawa donk istrinya ke kantor, kenalin sama kami." Deri yang merupakan Manager dan juga sahabatku mulai menggoda.

Jujur aku memang berniat menyembunyikan pernikahan ini. Bagaimana mungkin aku akan mengenalkan Nilam dihadapan para sekretaris berwajah glowing, yang jumlah sebagian dari mereka begitu memujaku.

"Kapan mau dikenalin?" Desakan itu gencar bertubi-tubi.

Aku tak tahu harus berkata apa. Jika disandingkan dengan para wanita kantor yang mengejarku, penampilan Nilam jelas tidak ada seujung kukupun.

"Dia lulusan apa?"

"Kerja dimana?"

"Keluarganya gimana? Bapaknya tuan tanah kah di kampung? Atau bos rongsokan? Pastilah anak Bos besar."

Tenggorokanku tercekat, hanya mampu menjawab dengan seringaian kecil.

"Langsung dinikahin pasti cantik banget yah?"

Bisa kubayangkan jika aku mengenalkan Nilam pada barisan sakit hati para wanita yang pernah kutolak, mereka pasti akan mencela habis-habisan!

Sepertinya aku sedang ketiban KARMA! Karma atas sakit hati mereka.

"Secara gitu Galih kan tipenya selangit. Pengen lihat wanita selangit itu kayak apa?" Pertanyaan Deri dan yang lainnya terdengar seperti sedang meledekku.

Sejagat kantor ini sudah tahu aku memiliki kriteria yang luar biasa mengenai wanita, paket three in One.

Kecantikan itu mutlak, dia harus memiliki karir yang cemerlang, dan turunannya juga harus sepadan.

Tak jarang para wanita yang memujaku, yang menyadari tak masuk dalam paket Three in One harus menelan pil pahit, mundur sebelum ditolak.

Sempurnanya tipe idealku, nyatanya tak satupun kriteria itu yang melekat dalam diri Nilam.

Aku terkena nasib sial!

"Bawa donk ke kantor." Mereka setiap hari terus menerus mengompori.

Rekanku beberapa masih jomblo. Kalaupun ada yang menikah, paling minimal istri mereka berstatus ASN. Jikapun tidak bekerja, pasti salah satu anak konglomerat berada, yang kesehariannya masuk dalam grup sosialita dengan dandanan ala Mamah muda menawan.

Matilah aku! Tak berkutik.

Akhirnya karena begitu banyak desakan, aku memutuskan membawa Nilam sekalian mengenalkannya pada rekan kantor. Karna sungguh tidak ada niatku untuk mengulang resepsi disini.

Tentu sebelum itu aku sudah memilihkan pakaian terbaik, kupesan dari butik ternama. Gamis berwarna gold yang bersinar, sedikit membentuk lekukan tubuh dan dipadankan dengan jilbab yang mengikat dileher. Sehingga tubuh rampingnya akan menjadi satu-satunya kelebihan dari sejuta kekurangan dirinya.

Meminta supir untuk mengantar Nilam ke sebuah salon kecantikan. Begitu detail persiapan yang kulakukan hingga aku yakin, mereka tak bisa menemukan celah untuk mengejek sosok Nilam.

Bukankah batu kali jika terus menerus diasah akan tampak seperti berlian? Soal dia anak turunan siapa, tentu melihat penampilannya mereka akan langsung menduga jika Nilam anak sebangsa berada. Toch mereka juga tidak akan mengecek latar belakang Nilam.

Nyatanya, semua diluar dugaanku. Nilam muncul ke kantor dengan gamis seadanya. Jilbab panjang yang menutupi tubuhnya hingga lekuk ramping itu nyaris tak terlihat. Bahkan wajah itu tidak tersapu make up sedikitpun. Jadi terkesan kusam jika disandingkan dengan para Sekretaris yang bening cemerlang.

Aku shock!

Gengsiku meradang!

Harga diriku memberontak!

Tak pernah aku merasa semalu ini sebelumnya. Merasa seperti sedang dikuliti ramai-ramai.

Bahkan office girl dikantor kami tahu caranya berdandan.

Bukan hanya aku yang nyaris membatu. Rekan kantor juga tidak kalah memandang dengan mulut setengah mengaga. Sebagian tak percaya, sebagian lagi turut prihatin.

Ah, aku benci tatapan penuh rasa kasihan itu.

Suasana makan-makan siang ini begitu sunyi. Hanya denting sendok yang terdengar begitu berat.

Sesekali mereka bergantian mengangkat kepala. Sepertinya wajahku sudah mengepulkan asap membara.

Awas kamu Nilam?????

>>>>>

Semenjak aku merasa Nilam mempermalukanku dikantor, aku menjadi dingin padanya. Meski tak kupungkiri hasrat lelakiku masih menyentuhnya jika memang aku sedang menginginkannya.

Karna aku, hanya lelaki biasa.

Bermingu-minggu aku seperti kehilangan wibawa dikantorku sendiri. Aku begitu yakin mereka menjadikanku trending topik. Karna setiap kali melewati karyawan yang sedang berkerumun, mereka segera menutup rapat mulutnya dengan gerakan mata yang menarik tajam.

Dan dihadapan para wanita-wanita itu, yang dulu setengah mati mengharapkan cintaku, jelas saja pesonaku sudah terjun ke dasar jurang!

Mengenaskan!

Hancur sudah image yang selama ini mati-matian kujaga.

Sampai suatu ketika, kutemukan sosoknya disaat aku sedang merasa begitu putus asa.

"Nama saya Tyas, kamu siapa?" Terjadi insiden kecil, mobilku menyerempet sedikit bemper mobilnya.

Seorang wanita cantik turun dari dalam mobil, rambutnya panjang tergererai, mengenakan rok span dengan kemeja berbelah dada. Luar biasa penampilannya membuat kesuntukanku selama ini menguap entah kemana.

"Maaf Mbak saya nggak sengaja, nanti biar saya urusin biaya kerusakan bemper mobilnya."

Melirik sekilas bemper mobilnya, matanya menyipit sejenak.

Damn! So sexy! Hasratku berdesir resah.

"Nggak perlu, bukan masalah besar kok. Kamu kan memang nggak sengaja."

Tanpa tendeng aling-aling kuperkenalkan diriku, lengkap dengan jabatan yang kupegang dan menyebutkan perusahaan tempatku bekerja.

Tyas hanya mengangguk biasa, dia terlihat seperti merpati awalnya. Jinak-jinak namun pada akhirnya menyerahkan diri.

Aku tak kuasa menolak pesonanya.

Kecantikan wajahnya, sexy tubuhnya. Latar belakang keluarganya serta posisi karirnya, jelas Tyas bukan wanita biasa.

Dia tipe idealku.

Hari setelah mengenalnya terasa begitu berbeda. Hembusan nafasku hanya bercerita tentangnya. Warna yang semula kukira sudah pudar dihidupku entah mengapa mulai menemui binarnya.

Ada debaran menerjang memintaku untuk memulai ini semua. Kuakui aku memang bukan pria alim, namun pantang bagiku untuk tidur dengan wanita yang bukan istriku.

Akhirnya kunikahi dia, meski dibawah tangan.

Tingkah manja Tyas selalu membuatku mabuk kepayang hingga aku menciptakan banyak kebohongan demi menemuinya.

"Kemana lagi, Mas?" Nilam sedang membereskan bajuku ke dalam koper. Menyusun semua itu dengan rapi. Dia memang berbakat urusan kerapian dan bebersih, maklum darah Missqueenya cukup kental.

"Ke Makassar."

"Berapa lama, Mas?"

"Seminggu."

Lalu wejangan penuh kekhawatiran diungkapkannya seperti jangan telat makan dsb.

Membosankan!

Dia sama sekali tidak memiliki kecurigaan tentang aku yang dalam sebulan bisa 5x keluar kota. Dia sungguh memberiku sejuta kepercayaan.

Jiwa petualang dalam tubuhku memberontak, sama sekali tidak ada upaya Nilam untuk sekedar bertanya dengan nada curiga.

"Hati-hati dijalan, Mas." Dia mencium tanganku, lagi-lagi dengan keteduhan yang sama.

Dia lugu atau bodoh? Entahlah aku tak peduli.

>>>>>

Dengan tergesa aku memasuki mobil, menyalakan gas lalu memacunya cepat. Sayup-sayup masih kudengar suara Nilam yang memanggil namaku.

Sedetik aku memejamkan mata, ada sedikit rasa bersalah menyentil hatiku, mengapa aku merasa menjadi begitu kejam?

"Udahlah, Mas bilang ajah dia mandul." Tyas terus merengek untuk aku segera menceraikan Nilam disaat kukatakan aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk itu.

"Lalu bagaimana dengan Ibu dan Bapak? Mereka menyayangi Nilam melebihi aku anak kandungnya."

"Jadi kamu mau aku gugurin anak ini?" Tyas mulai meradang, tangannya bergerak keatas hendak memukul perutnya, jika saja aku tidak meraihnya kedalam pelukan.

Aku tahu Tyas wanita yang nekat. Dia berani menemui Nilam tanpa seizinku, membeberkan tentang pernikahan siri kami.

Dia juga memperkenalkan dirinya dikantorku, sebagai seorang Istri. Aku yang semula menentang, tak sanggup berkata apa-apa. Hanya bisa memasang senyum penuh kepalsuan jika aku ikut mendukung tingkah gilanya.

Tyas selalu mengancam akan menggugurkan kandungannya jika aku terlihat sedikit saja keberatan atas semua aksinya.

"Ceraikan dia, Mas."

Tyas mulai terisak pelan, membenamkan kepalanya ke dalam dadaku.

"Ya, segera. Aku janji." Entah mengapa begitu berat rasanya untuk mengatakan itu.

Memacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Berusaha keras membayangkan kebahagian sempurna yang akan aku raih dengan Tyas dan calon anak kami, sembari pelan-pelan mengusir rasa bersalah yang juga tak ingin beranjak dari sisi hati yang lain.

Malah terbayang wajah Nilam dengan tangisan perihnya.

Iba!

Ini hanya rasa iba!

Berulang kali mengingatkan diri sendiri.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Duhai istri sahku (Part 6)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel